HUKUM INTERNASIONAL
“ Kasus Pelanggaran Hukum Internasional”
(Pembajakan Kapal Indonesia Oleh
Abu Sayyaf)
Diajukan Sebagai Tugas Akhir Semester
DISUSUN OLEH:
NAMA: SUMARNI LITE
NIM: A1011151101
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2015/2016
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pembajakan adalah kegiatan merampas barang atau hak orang
lain.
Pembajakan umumnya di
hubungkan dengan pembajakan kapal oleh bajak laut, walaupun sering terjadi
pembajakan pesawat, bus dan kereta api. Selain itu ada juga pembajakan hak
cipta yang berarti pemalsuan barang, merek, dan sebagainya.
Peristiwa pembajakan dan penyanderaan kapal Indonesia, dimana
pelaku pembajakan dan penyanderaan kapal ini adalah kelompok Abu Sayyaf. Dua
kapal Tugboat Brahma 12 dan kapal Tongkang Anand 12 yang membawa 7.000 ton batu
bara serta 10 orang awak kapal berkewarganegaraan Indonesia hilang kontak pada
hari senin, 28 Maret 2016 ketika berada diwilayah Filipina.
Dua kapal pembawa batu
bara berangkat dari sungai Putting, Kalimantan Selatan pada tanggal 15 Maret
2016. Ketika melintasi Basilan Island, di mana terdapat beberapa pulau kecil yang tidak sering
dilalui oleh petugas patroli, kapal tersebut dikejar oleh para pembajak dengan
menggunakan kapal cepat (speedboat). Dengan ukuran kapal yang kecil dan muatan
batu bara yang banyak, kapal penggangkut seperti ini sering menjadi sasaran
para pembajak di perbatasan-perbatasan Negara , dalam hai ini di Filipina.
Para pembajak itu menyandera dua kapal
itu beserta awak kapal dengan menggunakan senjata api. Mereka (pembajak yang
mengaku dari kelompok Abu Sayyaf) lalu menghubungi pemilik kapal untuk meminta
uang tebusan sebesar 50 juta Peso (setara dengan 14,2 miliar Rupiah) untuk
dipenuhi paling lambat tanggal 31 Maret 2016.
Berdasarkan keadaan
terakhir pada tanggal 29 Maret 2016, kapal Brahma 12 telah dilepas dan saat ini
berada di tanggan otoritas Filipina. Pihak kepala dinas penerangan TNI
menegaskan untuk memantau keadaan perairan Indonesia, khususnya diperbatasan
Negara Indonesia dengan Filipina. Patrol ini menggunakan empat kapal perang,
yakni KRI Surabaya, KRI Ajak, KRI Ami, dan KRI Mandau.
Kementerian luar Negari
(Kemenlu) membenarkan terdapat 10 WNI yang disandera kelompok Abu Sayyaf,
Filipina. Kemenlu mendapat informasi pada senin (28/03/2016). Direktur
perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia (PWNIBHI) Kemenlu, lalu Muhammad
Iqbal, menyebutkan ada dua kapal dan 10 WNI awak kapal disandera di perairan
Filipina.
Berdasarkan info awal
tersebut, Kemenlu melakukan penelusuran dan komunikasi dengan pemilik kapal
serta sejumlah pihak di Indonesia dan Filipina. “benar bahwa telah terjadi
pembajakan terhadap kapal tunda Brahma 12 dan kapal tongkang Anang 12 yang
membawa 7.000 ton batu bara dan 10 orang awak kapal berkewarganegaran
Indonesia”, kata Lalu, selasa (29/03/2016). Tidak diketahui persis kapan kapal
dibajak. Pihak pemilik kapal baru mengetahui terjadi pembajakan pada tanggal 26
Maret 2016, pada saat menerima telfon dari seseorang yang mengaku dari kelompok
Abu Sayyaf. “Dalam komunikasi melalui telfon kepada perusahaan pemilik kapal,
penyandera menyampaikan tuntutan sejumlah uang tebusan. Sejak tanggal 26 Maret
2016, pihak pembajak sudah 2 kali menghubungi pemilik kapal”,tandas Lalu. Menlu
sendiri mengaku pihaknya terus berkomunikasi dan berkoordinasi dengan berbagai
pihak terkait di Indonesia dan Filipina, termasuk dengan Menlu Filipina. Menlu
Indonesia mengatakan prioritas saat ini adalah keselamatan 10 WNI yang
disandera. Pihak perusahaan sejauh ini telah menyampaikan informasi tersebut
kepada keluarga 10 awak kapal yang disandera.
1. 2 Rumusan
Masalah
1. Analisa
pelanggaran hukum yang terjadi terkait
pembajakan kapal
2. Penyelesaian
sengketa dan upaya pembebasan korban sanderaan
BAB 2
ANALISA
2.1 Pelanggaran terkait pembajakan
kapal.
Kasus pembajakan 2 kapal Indonesia yakni, kapal Tugboat Brahma 12 dan
kapal Tongkang Anand 12 yang membawa 7.000 ton batu bara serta 10 orang awak
kapal berkewarganegaraan Indonesia hilang kontak pada hari senin, 28 Maret 2016
ketika berada diwilayah Filipina. Dua kapal Indonesia itu diduga telah dibajak
oleh sekelompok orang yang mengaku kelompok dari Abu Sayyaf, mereka meminta
uang tebusan sebesar 50 juta Peso (setara dengan 14,2 miliar Rupiah) untuk
dipenuhi paling lambat tanggal 31 Maret 2016.
Dinyatakan telah melakukan pelanggaran
terhadap undang undang antara lain :
1.
Konperensi P.B.B. tentang Hukum Laut
yang diadakan di
Jenewa dari 24 Pebruari sampai 27 April 1958, menerima baik peraturan-peraturan
yang berikut sebagai pernyataan umum akan dasar-dasar yang diletakkan dari pada
hukum internasional.
Pasal 4.
Tiap negara, baik negara berpantai maupun tidak, berhak melakukan
pelayaran dengan benderanya masing-masing di laut lepas.
Pasal 5.
(1) Tiap negara akan menentukan syarat-syarat kebangsaan yang telah
diakui bagi kapal-kapalnya untuk keperluan pendaftaran kapal-kapal itu dalam
daerahnya, serta memakai benderanya. Kapal-kapal memiliki kebangsaan negara,
yang memberikan hak kepadanya untuk mengibarkan benderanya. Meskipun demikian
agar supaya tanda kebangsaan kapal dapat diakui oleh negara-negara lain, maka
harus ada hubungan yag wajar antara negara dan kapal; khusus, negara itu harus
tegas (effectively) menyelenggarakan hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan
kekuasaan hukum, (yurisdiction) dan pengawasan atas persoalan-persoalan
administrasi, teknik dan sosial dari kapal-kapal yang mengibarkan benderanya.
(2) Sebagai pelaksanaan hal-hal tersebut, maka tiap negara harus
memberikan bukti-bukti kepada kapal-kapal yang telah diberi hak untuk
mengibarkan benderanya.
Pasal 6.
(1) Kapal-kapal harus mengibarkan benderanya satu negara saja dan dalam
keadaan luar biasa yang ditentukan dengan sengaja, dicantumkan dalam
perjanjian-perjanjian internasional atau dalam pasal-pasal ini, harus tunduk
kepada hukum-hukum yang khusus berlaku pada laut lepas. Sebuah kapal tidak
boleh mengganti benderanya selama dalam perjalanan atau selama berada di
pelabuhan yang disinggahi, kecuali jika kapal-kapal itu benar-benar *2788
dipindah tangankan oleh pemilik atau dalam hal perubahan pendaftaran.
(2) Sebuah kapal yang berlayar memakai bendera dari dua negara atau
lebih, dengan sesuka hati, tidak. boleh menuntut sesuatu kebangsaan yang
dimaksud terhadap sesuatu negara, dan kapal itu dapat disamakan dengan sebuah
kapal tanpa kebangsaan.
Pasal 7.
Diadakannya pasal-pasal tersebut di atas merugikan (mengurangi) persoalan
tentang kapal-kapal yang dipergunakan bagi keperluan yang bersifat resmi dari
organisasi antara pemerintah, yang memakai bendera organisasi tersebut.
Pasal 10.
(1) Tiap negara harus mengadakan peraturan-peraturan bagi kapal-kapal
yang memakai benderanya yang perlu untuk menjamin keamanan di laut antara lain
sepanjang mengenai :
(a)pemakaian semboyan, pemeliharaan perhubungan dan pencegahan
pelanggaran; (b)pengawakan kapal-kapal dan syarat-syarat kerja bagi awak kapal
dengan memperhatikan dokumen kerja internasional yang berlaku; (c)konstruksi,
perlengkapan dan laiklaut kapal-kapal.
(2) Dalam persoalan tentang peraturan-peraturan yang demkian tiap negara
diharuskan menyelaraskan diri dengan pokok-pokok umum internasional yang telah
disetujui, serta mengambil sesuatu langkah yang perlu untuk menjamin ditaatinya
peraturan-peraturan tersebut.
Pasal 11.
(3) Tidak akan diperintahkan oleh
para pejabat untuk menyita atau menahan kapal, selain dari pada pejabat
negaranya kapal itu sendiri, meskipun perbuatan itu dilakukan sebagai tindakan
pemeriksaan.
Pasal 12.
(1) Tiap negara akan mengharuskan nakhoda sebuah kapal untuk memakai
bendera negara itu, sepanjang ia dapat bertindak demikian tanpa benar-benar
membahayakan kapal, awak kapal atau penumpang-penumpang :
(a)memberi bantuan kepada setiap orang yang diketemukan di laut sedang
dalam keadaan bahaya akan tenggelam (hilang); (b)bertindak secepat mungkin
untuk menolong orang-orang yang dalam keadaan bahaya, jika diberitahu bahwa
mereka membutuhkan pertolongan, sepanjang tindakan itu dapat diharapkan dari
padanya secara layak; (c)setelah terjadi pelanggaran, memberikan pertolongan
kepada lain kapal, awak dan penumpangnya dan, dimana mungkin, memberitahukan
kepada lain kapal namanya kapal sendiri, pelabuhan pendaftaran dan pelabuhan
yang terdekat yang akan disinggahinya.
2 2 .
Undang- undang pidana pembajakan
kapal:
a.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Bab
XXIX tentang Kejahatan Pelayaran
Pasal 446
Barang siapa atas biaya sendiri atau orang lain, secara langsung maupun
tidak langsung turut melaksanakan penyewaan, pemuatan atau pertanggungan sebuah
kapal, padahal diketahuinya bahwa kapal itu akan digunakan sebagai yang
dirumuskan dalam pasal 438, 38, atau untuk melakukan salah satu perbuatan yang
dirumuskan dalam pasal 439 - 441, diancam dengan pidana penjara paling lama dua
belas tahun dalam
Pasal 447
Barang siapa dengan sengaja menyerahkan sebuah kapal Indonesia dalam
kekuasaan bajak laut, bajak tepi laut, bajak pantai, dan bajak sungai, diancam:
1. dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. jika ia adalah
nakoda kapal itu;
2. dengan pidana penjara paling lama
dua belas tahun, dalam hal-hal lain.
b.
Berlakunya Undang- undang Pidana
Menurut Tempat:
1.
Ruang
Lingkup Berlakunya Undang-Undang Pidana Suatu Negara
Ruang lingkup berlakunya
undang-undang pidana suatu negara antara lain dapat kita jumpai dalam
pasal-pasal 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, dan 9 KUHP sebenarnya bukan merupakan sesuatu
yang baru bagi ilmu pengetahuan hukum pidana. Di negara kita keharusan
memperhatikan Undang-undang Pidana yang berlaku di negara-negara lain itu dapat
kita jumpai secara tersirat dalam ketentuan-ketentuan seperti yang di atur
dalam pasal 5 ayat 1 angka 2, 6, dan pasal 76 ayat 2 KUHP.
Apabila keharusan seperti
dimaksud di atas itu dapat di anggap sebagai suatu penyimpangan terhadap
ketentuan seperti yang terdapat ketentuan seperti yang terdapat dalam asas
dasar sebagaimana yang dimaksud di atas, maka dinegara kita penyimpangan
tersebut telah diperluas oleh keharusan untuk juga memperhatikan
“pengecualian-pengecualian yang di akui dalam hukum antarbangsa”, seperti uang
di atur dalam Pasal 9 KUHP.
Pasal 5 ayat 1 angka 2
KUHP berbunyi: “ketentuan-ketentuan pidana menurut Undang-undang indonesia itu
dapat diberlakukan terhadap warga negara indonesia, yang di luar Indonesia
telah bersalah melakukan suatu tindak pidana yang oleh ketentuan-ketentuan
pidana menurut undang-undang negara dimana tindak pidana tersebut telah
dilakukan, diancam dengan suatu hukuman”.
Pasal 6 KUHP berbunyi:
pemberlakuan dari Pasal 5 ayat 1 angka 2 KUHP itu dibatasi demikian rupa,
hingga hukuman mati itu tidak dapat dijatuhkan kerena perbuatan-perbuatan,
yangoleh undang-undang dari Negara dimana perbuatan-perbuatan itu telah di
lakukan, telah tidak diancam dengan hukuman mati”.
Pasal 76 ayat 2 KUHP
berbunyi: “apabila putusan tersebut berasal dari seseorang hakim yang lain,
maka terhadap orang yang sama tidak dilakukan penuntutan karena tindak pidana
yang sama, yaitu apabila putusan tersebut berupa:
1. pembebasan atau
pembebasan dari tuntutan hukum dan
2. suatu penjatuhan
hukuman yang diikuti oleh pelaksana dari seluruh masa hukuman, pengampunan atau
kedaluarsanya hukuman”.
Dari bunyi ketiga pasal
KUHP di atats, jelaslah bahwa di negara kita ini dalam mengadili beberapa
tindak pidana tertentu, hakim harus memperhatikan Undang-undang Pidana yang
berlaku dinegara-negara lain.
Pasal 9 KUHP berbunyi:
“pemberlakuan dari pasal-pasal 2-5, 7 dan 8 KUHP dibatasi oleh
pengecualian-pengecualian yang diakui dalam hukum antarbangsa”.
2. Asas Berlakunya Undang-Undang Pidana Menurut Tempat
Untuk memecahkan
persoalan tersebut di dalam doktrin dikenal beberapa asas yang biasanya juga
disebut sebagai “asas-asas tentang berlakunya Undang-undang Pidana menurut
tempat” ataupun yang dalam bahasa Belanda di sebut “de beginselen van de
werking der strafwet naar de plaats”. Asas-asas tersebut adalah :
1. asas territorial atau
territoaliteist-beginsel atau yang juga disebut lands-beginsel;
2. asas kebangsaan atau
nationalitets-beginsel atau yang juga di sebut personaliteits-beginsel atau
actieve persoonlijkheidsstelsel atau actieve nationaliteits-beginsel atau yang
juga di sebut subjek-tionsprinzip;
3. asas perlindungan atau
beschermings-beginsel atau yang juga di sebut passief nationaliteits-beginsel
atau Realprinzip atau schutz-prinzip atau yang oleh Profesor SIMONS juga di
sebut Prinzip derbeteilingten rechtsordnung dan
4. asas persamaan atau
universalsiteits-beginsel atau yang juga di sebut wetstrafpflege atau yang oleh
professor van HAMEL juga disebut wetstrafpflege.
Menurut asas territorial,
berlakunya Undang-undang Pidana suatu negara semata-mata digantungkan pada tempat
dimana tindak pidana itu telah di lakukan, dan tempat tersebut haruslah
terletak di dalam wilayah negara yang bersangkutan.
Tentang hal tersebut
berkatalah Profesor van HATTUM, bahwa setiap negara berkewajiban menjamin
keamanan dan ketertiban di dalam wilayah negaranya masing-masing. Oleh
karenanya hakim di setiap negagra dapat mengadili setap orang yang di dalam
wilayah negaranya masing-masing telah melakukan suatu tindak pidana, dengan
memberlakukan Undang-undang Pidana yanmg berlaku di negaranya. Ini berarti
bahwa Undang-undang Pidana suatu Negara itu bukan saja dapat di berlakukan
terhadap warga Negara dari Negara tersebut, melainkan juga terhadap setiap
orang asing yang di dalam wilayah negaranya di ketahui telah melakukan suatu
tindak pidana.
Menurut Profesor SIMONS,
berlakunya asas ini berdasarkan pada asas kedaulatan suatu Negara, yang
neliputi seluruh wilayah Negara yang bersangkutan, sehingga setiap orang baik
yang secara tetap maupun yang untuk sementara berada di dalam wilayah Negara
tersebut, harus menaati dan menundukan diri pada segala perundang-undangan yang
berlaku di Negara itu.
Wilayah kekuasaan suatu
Negara meliputi seluruh wilayah daratan yang terdapat di Negara tersebut, yag
batas-batasnya di darat di manapun di dunia ini di tentukan dalam
perjanjian-perjanjian yang diadakan oleh Negara tersebut dengan Negara-negara
tetangganya. Selanjutnya meliputi juga laut sekitar Negara-negara tersebut atau
sekitar pulau-pulau yang terdapat di dalam Negara itu hingga jarak 3 mil laut
(1 mil = 1,851,5 m) dari pantai, dihitung dari batas air laut dengan darat pada
waktu air surut, yaitu sebagaimana yang di ajarkan oleh van BIJNKERSHHOEK, yang
pada zamannya jarak tersebut ternyata sesuai apa yang disebut “terrae potestas
finitur, ubi finitur armorum vis”, setidak-tidaknya sesuai dengan jarak yang
mampu di capai oleh peluru yang di tembakan dari senjata-senjata yang paling
modern ketika itu , apabila dewasa ini orang tetap berpegang teguh pada cara
menentukan wilayah laut sesuai Negara dengan berpedoman pada jarak dari pantai
kea rah laut yng di capai oleh peluruh sebuah meriam, kiranya cara tersebut
sudah tidak rasional lagi. Kerena seperti sudah kita ketahui sebuah peluru
kendali jarak sedang saja dewasa ini dapat mencapai sasaran di atas laut yang
jauhnya 1.000 – 3.000 kilometer dari tempat peluru kendali tersebut
diluncurkan. Akan tetapi, bagaimanapun juga jarak 3 mil laut tersebut adalah
jarak yang secara resmi di akui dalam hukum antara bangsa. Yang sudah pasti
termasuk kealam wilayah kekuasaan suatu Negara adalah teluk-teluk, bagian dari
laut yang menjorok kedaratan di antara dua tepi yang sempit, seluruh laut-laut
pedalaman dan daerah laut sepanjang pantai sejauh 3 mil laut dari garis pantai
sebagaimana yang telah dikatakan diatas. Penguasaan atas wilayah laut seperti
itu adalah penting bagi setiap Negara, yaitu untuk menjamin keamanan
Negara-negara yang bersangkutan.
Dapat di berlakukannya
Undang-undang Pidana Negara kita terhadap orang-orang yang telah melakukan
suatu tindak Pidana di atas laut territorial Negara kita itu telah di putuskan
oleh HOGE RAAD dalam berbagai putusan kasasinya.
Ordonasi tanggal 18
Agustus 1939, staatsblad Tahun 1939 No. 442, yang juga di kenal sebagai
territoriale zee en meritieme kringen ordonantie 1939 membuat perbedaan antara
apa yang di sebut laut territorial dengan perairan territorial. Menurut Pasal 1
ayat 1 Ordonansi tanggal 18 Agustus 1939, yang di maksud dengan “laut
territorial Indonesia” atau “indonesiasche territoriale zee” adalah wilayah
laut hingga jarak 3 mil dari pulau-pulau atau bagian-bagian dari pulau-pulau
yang termasuk ke dalam wilayah daratan Indonesia, diukur dari batas air laut
yang mencapai daratan pada waktu air surut. Termasuk ke dalam pengertian
pulau-pulau adalah juga karang-karang dan gosong-gosong yang tampak di
permukaan laut pada waktu air surut. Sedangkan yang di maksud dengan “perairan
territorial” atau “teritoriale wateren” adalah laut territorial berikut laut
sepanjang pantai, daerah perairan teluk-teluk, muara-muara sungai dan
terusan-terusan.
Menurut beberapa penulis
wilayah kekuasaan suatu Negara itu bukan hanya meliputi wilayah-wilayah daratan
dan laut territorial Negara yang bersangkutan, melainkan juga meliputi wilayah
udara di atas wilayah daratan dan wilayah laut territorial seperti yang di
maksud di atas. Sehingga apa yang telah terjadi di dalam pesawat udara atau di
dalam balon udara yang sedang berada di atas wilayah daratan atau di atas wilah
laut territorial suatu Negara itu, haruslah di anggap sebagai telah terjadi di
dalam wilayah Negara yang bersangkutan. Sebab apabila tidak demikian, maka di
atas bumu ini akan terdapat suatu wilayah yang tidak terbatas dimana orang
dapat melakukan segala macam tindak pidana tanpa dapat dihukum.
Asas territorial ini
terdapat dalam ketentuan undang-undang seperti yang di atur dalam pasal 2 KUHP
yang berbunyi: “ketentuan-ketentuan pidana menurut undang-undang Indonesia itu
dapat di berlakukab terhadap setiap orang yang bersalah telah melakukan suatu
tindak pidana di dalam Negara Indonesia”. Asas territorial seperti yang
terdapat dalam ketentuan undang-undang, yaitu seperti yang telah di atur dalam
pasal 2 KUHP yang mengatakan antara lain bahwa: “ ketentuan-ketentuan pidana
menurut undang-undang Indonesia itu dapat di berlakukan terhadap setiap orang
yang di luar Negara Indonesia telah bersalah melakukan suatu tindak pidana
(tertentu) di atas alat pelayaran Indonesia.
Tentang apa yang dimaksud
dengan “alat pelayaran Indonesia”, undang-undang sendiri tidak memberikan
penjelasannya. Akan tetapi perkataan “alat pelayaran” itu sendiri dapat kita
jumpai dalam rumusanPasal 94 KUHP yang berbunyi:”termasuk ke dalam pengertian
kapal Indonesia adalah alat-alat pelayaranyang menurut Undang-undang Indonesia
yang mengatur masalah pemberian surat-surat laut dan izin untuk mempergunakan
bendera Indonesia telah dipandang sebagai kapal-kapal laut”.
Undang-undang yang
mengatur masalah pemberian surat-surat laut dan pemberian izin menggunaka
bendera Indonesia seperti di maksud dalam pasal 94 KUHP atau keputusan tentang
surat-surat laut dan pas-pas kapal tahun 1934, Sttasblad tahun 1935 No. 565,
yang mulai diberlakukan di Indonesia pada 1 Desember 1935. menurut pasal 1 dari
keputusan tersebut yang dimaksud “kapal laut” adalah setiap alat pelayaran yang
digunakan untuk berlayar di laut atau yang dibuat untuk maksud yang sama.
Sedang pasal 2 ayat 1 dari keputusan tersebut mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan “kapal laut Indonesia” adalah kapal laut yang dimilki oleh seorang atau
lebih warga Negara Indonesia atau yang dua pertiganya dimiliki oleh warga
Negara Indonesia dan selebihnya dimilki oleh orang-orang lain yang berdiam di
Indonesia.
Dengan memperhatikan
berbagai ketentuan undang-undang, Prof. Van HATTUM telah mencoba membuat suatu
rumusan yang bersifat umum tentag apa yang dimaksud “kapal laut Indonesia”
yaitu sebagai : “semua alat pelayaran apapun namanya dan bagaimanapun sifatnya
yang dipergunakan untuk berlayar di laut tau yang dibuat untuk maksud ayng
sama, kecuali :
a. kapal-kapal perang
b. alat-alat pelayaran kepunyaan
perkumpulan-perkumpulan oelh raga layer yang diakui oleh menteri
c. kapal-kapal milik
Negara atau milik suatu lembaga umum yang dipakai unutuk kepentingan umum
d. alat-alat pelayaran
yang dipakai untuk menangkap ikan di pantai
e. perahu-perahu penolong
f. kapal-kapal dengan
ruang muatan kurang dari 20 meter kubik.
Sedang mengenai “alat
pelayaran Indonesia” telah ia rumuskan sebagai “setiap benda yang berlayar atau
dapat berlayar, apapun namanya bagaimanapun sifatnya, asalkan saja benda
tersebut berada di air, sehingga harus uga dimasukkan ke dalam pengertiannya,
yaitu benda-benda sperti ponto-ponton, dok-dok terapung dan lain-lain.
Penggunaan perkataan “di
luar Negara” Indonesia dalam rumusan Pasal 3 KUHP di atas itu menunjukkan bahwa
ketentuan dalam Pasal 3 KUHP itu oleh pembentuk undang-undang bukan dibentuk
berdasarkan suatu asas yang terdapat dalam hukum antar bangsa yang menganggap
“schip is territoir” atau yang menganggap kapal itu sebagai wilayah suatu
Negara, dalam hal ini wilayah Negara Indonesia, melainkan berdasarkan
pertimbangan apabila ketentuan semacam itu tidakdicantumkan dalam KUHP kita,
maka apabila ada orang yang di atas sebuah kapal Indonesia yang sedang berlayar
di laut bebas atau sedang berlabuh di daerah perairan suatu Negara asing telah
melakukan suatu tindak pidana, maka orang tersebut akan terlepas dari
penuntutan dan penghukuman menurut undang-undang pidana Indonesia, aleh karena
laut bebas itu bukan merupakan wilayah Negara manapun didunia ini atau karena
undang-undang pidana suatu Negara asing oleh Negara yang bersangkutan telah
dinyatakan sebagai tidak dapat diberlakukan erhadap orang-orng yang di atas
suatu kapal asing telah melakukan suatu tindak pidana, walaupun kapal tersebut
sedang berada di wilayah perairannya.
Misalnya, seorang awak
kapal yang di atas kapal dagang atau kapal penumpang berbendera Indonesia telah
melakukan suatu tindak pidana pada waktu kapal tersebut sedang berlabh di suatu
pelabuhan Negara Prancis. Seandainya ketentuan seperti yang telah dirumuskan dalam
Pasal 3 KUHP itu tidak ada, maka apabila orang tersebut melakukan suatu tndak
pidana tertentu, ia tidak akan mengahadapi suatu penuntutan atau penghukuman
menurut undang-undang pidana yang ebralaku di Negara manapun,oleh karena Negara
Prancis yng perundang-undangan pidananya menganut asas territorial itu telah
membuata pengecualia-pengecualian seperti yang telah di \akui dalam apa yang
disebut Avis du Conseil d’Etat tanggal 6 November 1806, yaitu yang menutup
kemungkina diberlakukannya undang-undang pidana Prancis terhadsap apapun yang
terjadi di atas kapal-kapal dagang dari Negara asinfg yang sedang berada di
wilayah perairannya, kecuali jika suatu kejahatan telah dilakukan oleh ataupun
tehadap orang-orang yang tidak temasuk sebagai awak kapal, atau jika
kejahatnnya itu sendiri telah mengganggu kedamaian di pelabuhan ataupun jika
campur tangan penguasa di Prancis memang telah sengaja diminta.
Perkataan avis dalam
bahasa Prancis tersebut memiliki berbagai arti seperti: pendapat, penilaian,
pandangan, saran, pemberitaan, peringatan, ataupun pengunguman, sedang
perkataan Conseil d’Etat itu berarti Dewan Negara, sehingga Avis du Conseil
d’Etat sesuai pernyataan di atas dapat dikatakan sebagai Saran dari Dewan
Negara (Prancis)
Seperti yang telah
dikatakan di atas, ketentuan dalam Pasal 3 KUHP itu bukan dibentuk berdasar
sebuah asas yang tedapat dalam sebuah hukum antar bangsa-bangsa yang menganggap
kapal itu sebagai wilayah Negara asalnya. Sebab apabila kita mengangap
kapal-kapal kita itu sebagai bagian dari wilayah Negara kita, maka wajarlah
apabila kita harus menuntu agar kepada kapal-kapal kita, bai itu merupakan
kapal dagang maupun kap[al penumpang, diberikan apa yang disebut recht van
seterritorialiteit atau yang lazim disebut hak eksteritorial di Negara manapun
kapal-kapal tersebut sedang berada. Jika kita dapat berbuat demikian, maka
wajarah pula jika Negara-negara lain juga berhak berbuat hal yang sama, dengan
akibat bahwa undang-undang pidana setiap negara di dunia ini menjadi tidak
dapat diberlakukantehadap setiap orang yang berada di atas kapal-kapal asing
yang telah melakukan tindakan-tindakan secara langsungmendatangkan bahaya atau
kerugian bagi masin-masing negara, sungguhpun tindakan-tindakan terebut telah
dilakukan di atas sebuah kapal yang sedang berlabuh di pelabuhannya sendiri.
Sudah tentu kita tidak
menghendaki terjadinya peristiwa-peristiwa seperti tut. Pasal 3 KUHP itu hanya
ingin mengatakan bahwa bagaimana bangsa Indonesia tidak menghendaki
pelaku-pelaku suatu tindak pidana , yang pada hakikatnya telah mekaukan
perbuatan-perbuatan melanggar hukum di atas sebuah kapal berbendera Indonesia
itu terlepas dari suatu penuntutan atau penghukuman, dimanapun kapal berbendera
Indonesia tu sedang berada.
Akan tetapi ini tidak
berarti kita menutup kemungkinan bagi negara-negara lain untuk emmberlakukan
undang-undang pidana mereka terhadap orang-orang yang berada di atas kapal ayng
berbendera Indonesia, apabila orang-orang tersebutdi dalam wilayah kekuasaannya
telah melakukan perbuatan-perbuatan yang terlarang di mana para pelakunya
menurut undang-undang yang ebrlaku di negara-negara tersebut telah diancam
dengan suatu hukuman. Kemungkinan untuk melakukan penuntutan atau penghukuman
seperti itu telah diakui secara tegas dalam Pasal 76 ayat 2 KUHP.
Dengan demikian, maka
undang-undang pidana Indonesia itu juga dapat diberlakukan terhadap setiap
orang di atas kapal-kapal negara asing yang berada di wilayah perairan negara
kita, yang diketahui telah melakukan suatu perbuatan terlarang, di mana menurut
undang-undang pidana yang berlaku di negara kita, pelaku atau pelaku-pelaku
perbuatan yang dilarang tersebut telah dinyatakan dapat dihukum, kecuali
apabila tedapat suatu pengecualian seperti yang dimaksud dalam Pasal 9 KUHP.
Ketentuan-ketentuan
menurut undang-undang dalam pasal 3 KUHP secara umum telah dinyatakan berlaku
bagi setiap orang yang di luar negara Indonesia telah melakukan suatu tindak
pidan di atas kapal Indonesia. Dengan demikian, maka agar seseorang itu dapat
dihukum menurut undang-undang pidana Indonesia, orang tersebut tidak perlu
memiliki hubungan tertentu dengan kapal yang bersangkutan. Undang-undang pidana
Indonesia dapat juga diberlakukan misalnya terhadap orang-orang yang secara
kebetulan datang berkunjung ke atas kapal Indonesia atau terhadap korban-korban
kecelakaan di lauty yang kebetulan telah ditolong dan dinaikkan ke atas kapal
Indonesia tersebut.
Oleh karena dalam rumuan
Pasal 3 KUHP itu telah dipergunakan perkataan “setiap orang” dan yang
dimaksudkan di situ pastilah setiap orang tanpa memandang kewarganegaraan, maka
timbullah suatu pertanyaan apakah orang-orang yang pada hakikatnya bukan warga
negara Indonesia itu dapat melakukan suatu tindak pidana, yang menurut
undang-undang pidana Indonesia telah dinyatakan sebagai tindak pidana yang hanya
dapat diberlakukan oleh warga-warga negara Indonesia saja, yaitu seperti yang
telah diatur dalam Pasal 450 atau Pasal 451 KUHP?
Perkataan tindak pidana
dalam pasal 3 KUHP itu haruslah diartkan sebagai tindak pidana menurut
undang-undang Pidana yang berlaku di Indonesia. Agar seseorang dapat dikatakan
bersalah telah melakukan tindak pidana menurut suatu pasal KUHP yang
bersangkutan. Dalam rumusan-rumusan tindak pidan menurt Pasal 450 dan Pasal 451
KUHP itu jelaslah, bahwa keadaan sebagai warga negara Indonesia merupakan suatu
unsure dari tindak pidana seperti yang dimaksud dalam pasal-pasal tersebut.
Maka itu, seorang warga negara asing tidak mungkin dapat dituntut dan dihukum
karena dituduh melakukan tindak pidana melanggar Pasal 450 atau Pasal 451 KUHP
oleh alat-alat negara Indonesia, sekalipun mereka itu telah melakukan jenis
perbuatan terlarang yang sama seperti dimaksud dalma pasal 450 atau Pasal 451
KUHP, meskipun perbuatan-perbuatan mereka itu telah mereka lakukan di atas
sebuah kapal Indonesia yang sedang berada di laut bebas atau di lau territorial
suatu negara asing.
Menurut asas kebangsaan,
undang-undang pidana suatu negara tetap dapat diberlakukan terhadap warg
negaranya di manapun mereka itu berada, bahkan juga seandainya mereka itu
berada di luar negeri. Asas kebangsaan ini dianut oleh undang-undang pidana
kita, yaitu seperti yang dapat kita jumpai dalam pasal 5 dan pasal 7 KUHP.
Oleh karena ketentuan
pidana seperti yang diatur dalam pasal 5 KUHP itu telah menimbulkan suatu
permasalahan di dalam doktrin, maka untuk mengetahui permasalahannya yang
sebenarnya, kita harus mengetahui apa yang sebenarnya diatur dalam Pasal 5 KUHP
tersebut.
Dari rumusan pasal 5 KUHP
di atas dapat kita ketahui, bahwa menurut Pasal 5 ayat 1 angka 1 KUHP dapat
diberlakukannya Undang-undang pidana Indonesia terhadap warga negaranya yang
bersalah telah melakukan tindak-tindak pidana tertentu di lar negeri itu tidak
digantungkan pada suatu ketentuan pidan menurut undang-undang negara di mana
tindak pidana tersebut telah dilakukan, sedang menurut pasal 5 ayat 1 angka 2
KUHP dapat diberlakukannya undang-undang pidana Indonesia terhadap wraga
negaranya yang bersalah telah melakukan suatu tndak pidana di luar negeri itu
digantungkan pada kenytaan apakah tindajk pidana tersebt juga telah diancam
dengan suatu hukuman oleh undang-undang pidana negara di mana tindak pidana
yang bersangkutan telah dilakukan.
Ketentuan pidana menurut
Pasal 5 KUHp di atas memang sangat membingungkan. Sebagai contoh misalnya
sebuah kasus yang menyangkut seorang warga negara Indonesia yang telah menikah
di Indonesia dan baginya berlaku ketentuan seperti yang telah diatur dalam
Pasal 27 BW yang berbunyi : “pada suatu saat yang sama seorang laki-laki itu
hanya dapat teriakt dalam suatu perkawinan dengan seorang wanita, dan seorang
wanita itu pada saat yang sama hanya dapat erikat dalam suatui perkawinan
dengan seorang laki-laki”. Karena pekerjaannya pada suatu hari ia telah
dikirimkan oleh perusahaannya ke Arab Saudi untuk waktu selama 3 Tahun. Setelah
setahun berada di sana ternyata ia telah menikah kembali dengan seorang warga
negara Saudi Arabia, di mana yang terkahir ini kemudian telah melepaskan
kewarganegaraan Saudfi Arabianya dan mengikuti kewarganegaraan suaminya.
Menurut ketentuan pidan
seperti yang diatur dalam Pasal 5 ayat 1 angka 1 KUHP, perbuatan menikah
kembali seperti dimaksud di atas itu dapat dituntu dan dihukum sesuai
undang-undang pidana yang ebrlaku di Indonesia, oleh karen itu secara tegas
telah dilarang dalam Pasal 279 ayat 1 angka 1 KUHP walaupun perbuatannya itu
elah ia lakukan di luar negara Indonesia, dan di negara Arab Saudi itu sendiri,
perbuatan semacam itu bukanlah perbuatan yang dapat dituntut and dihukum sesuai
undang-undang pidana yang beralaku di negara tersebut. Akan tetapi menurut
ketentuan pidana seperti yang diatur dalam Pasal 5 ayat 1 angka 2 KUHP ternyata
undang-undang pidana Indonesia tidak dapat diberlakukan tehadap warga negara
Indonesia yang bersangkutan, karena ketentuan pidana ini telah menyebutkan
secara tegas, bahwa ketentuan-ketentuan pidana menurut undang-undang pidana
yang berlaku di Araba Saudi telah diancam dengan suatu hukuman, sedang
kenyataannya adalah tidak demikian.
Menurut hemat saya
ketentuan pidana seperti yang diatur dalam Pasal 5 ayat 1 angka 2 KUHP itu harus
diartikan sebagai “melakukan” lain-lain tidak pidana kecuali jenis-jenis tindak
pidana yang telah disebutkan secara limitative dalam pasal 5 ayat 1 angka 1
KUHP, sehingga terhadap warga negara Indonesia yang elah menikah kembali di
negara Arab Saudi seperti yang telah disebutkan da;lam contoh di atas itu tetap
dapat diberlakukan undang-undang pidana yang berlaku di Indonesia.
Dalam pada hukuman yang
dicantumkan oleh ndang-undang Pidana negara di mana tindak pidana yang
bersangkutan telah di lakukan, tidak perlu harus sejenis dangan hekuman yang
diancamkan oleh undang-undang pidana yang berlaku di negara Indonesia,
melainkan cukup apabila di negara tersebut suatu perbuatan yang dilakukan telah
diancam degan hukuman dan di Indonesia perbuatan tersebut dianggap sebagai
suatu kejahatan. Akan tetapi perlu kiranya diketahui, bahawa dari putusan hakm
yang mengadili perkara yang bersangkutan telah menyelidiki apakah si pelaku
karena perbuatannya itu menurut Undang-undangt Pidana yang berlaku di negara di
mana perbuatan tersebut telah dilakukan memang benar telah diancam dengan suatu
hukuman. Karena tidak tampaknya pertimbangan seperti itu akan menyebabkan
putusan hakim dapat dibatalkan oleh Mahkamah Agung.
Bagaimana kini dengan
wanita Arab Saudi yang telah menikah dengan warga negara Indonesia yang sebelum
menikah dengan wanita tersbut telah pernah menikah dengan seorang wanita
lainnya menurut yang menurut undang-undang yang berlaku baginya, warga negara
Indonesia tersebut pada suatu saat yang sama tidak boleh terikat dalam suatu
perkawinan dengan lebih dari satu orang wanita, sedang wanita warga negara Arab
Saudi tersebut justru telah menjadi warga negara Indonesia setelah ia menikah
dengan lelaki warga negara Indonesia tersebut di atas. Apakah terhadap wanita itu
dapat diberlakukan ketentuan pidana menurut undang-undang yang berlaku di
Indonesia?
Adalah beruntung baginya
bahwa ia telah menikah dengan seseorang warga negara Indonesia dan bukan
seorang warga negara Belanda, oleh karena tindak pidana seperti yang dewasa ini
dapat kita jumpai dalam Pasal 5 ayat 2 KUHP telah ditambah dengan perkataan
“nomor 2”, sedang dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 5 ayat 2 Wetbook
van Strafrecht yang berlaku di Belanda, perkataan tersebut hingga kini tidak
pernah ditambahkan pada rumusannya yang asli. Menurut ketentuan Pasal 241 ayat
1 angka 2 Wetbok van Strafrecht dihubungkan dengan ketentuan Pasal 5 ayat 2
Wetbook van Strafrecht, keran wanita tersebut dianggap sebagai telah turut
serta melakukan suatu overspel atau suatu perzinahan dengan seoang laki-laki
yang telah menikah, maka ia dapat dihukum dengan hukuman penjara selam-lamnya
enam bulan, yaitu apabila ada pengaduan dari istri warga negara Belanda yang
bersangkutan. Menurut ketentuan Pasal 284 ayat 1 angka 2 huruf b KUHP wanita
tersebut karena perbuatan yang sama sebenarnya juga dapat dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan, apabila ada pengaduan dari istri
warga negara Indonesia yang di luar negara Indonesia telah melakukan tindak
pidana seperti yang telah melakukan tindak pidana seperti yang telah dirumuskan
dalam Pasal 279 ayat 1 angka 1 KUHP. Akan tetapu karena menurut ketentuan
pasala 5 ayat 1 angka 2 KUHP telah ditentukan, bahwa terhadap dirinya itu hanya
da[at diberlakukakn ketentuan pidana menurut undang-undang Indonesia apabila
perbuatannya itu di Indonesia telah dianggap sebagai suatu hukuman, sedang
kenyataannya tidaklah demikian, maka Pasal 284 ayat 1 angka 2 huruf b KUHP
termaksud di atas tidak dapat diberlakukan terhadap wanita tersebut, walaupun
menurut contoh di atas ketentuan seperti yang telah diatur dalam Pasal 5 ayat 2
KUHP itu telah diperbaharui.
Dalam memberlakukan
ketentuan pidana menurut Pasal 5 KUHP ini perlu diketahui, bahwa keadaan
sebagai warga negara Indonesia itu bukan merupakan suatu unsure dari tindak
pidana menurut Pasal 5 KUHP meinkan hanya merupakan syarat untuk memberlakukan
pasal yang bersangkutan, sehingga hal tersebut oleh hakim tidak perlu dinyatkan
sebagi terbukti.
Prof. van HATTUM
meragukan apakah dalam segala hal ketentuan pidana eperti yang telah diatur
dalam Pasal 5 KUHP itu memenuhi kebutuhan, oleh karena kenyataan menunjukkan
bahwa kepentingan warga negarasendiri di luar negeri itu ternyata tidak
mendapat perlindungan secara cukup, dan rumusan Pasal 5 KUHP seperti yang ada
dewasa ini menunjukkan adanya kekurangan-kekurangan yang tidak disadari,
sehingga tindak pidana yang telah dilakuikan orang di luar wilayah kekuasaan
suatu negara itu menjadi tidak dapat dimasukkan ke dalam ketentuan Pasal 5 ayat
1 angka 2 KUHP, yaitu misalnya kejahatan pidana menurut Pasala 5 ayat 1 angka 2
KUHP, yaitu misalnya kejahatan yang telah dilakukan di laut bebas di luar suatu
alat eplayarajn. Prof. van HATTUM juga meragukan apakh suatu tindak pidana yang
telah dilakukan orang di atas sebuah kapal asing yang sedang berlayar di laut
bebas itu dapat dianggap sebagai telah dilakukan di dalam wilayah kekuasaan
suatu negara tertentu, mengingat bahwa pembentuk undang-undang kita tidak
pernah memandang kapal itu sebagai suatu wilayah negara.
Prof. van HATTUM sendiri
tidak menjelaskan tentang alasan mengapa ia berpandapat, bahwa kepentingan
warga negara sendiri di luar negeri itu kurang mendapat perlindungan. Tentang
hal tersebut adalah menarik untuk diketahui, yaitu tulisan Prof, van BEMMELEN
dalam kitab kumpulan tulisan-tulisannya yang berjudul Op de grenzen van het
Starfrecht, cetakan H.D. TJEENK WILLINK & ZOON N.V.HAARLEM, tahun 1955
halaman 33 dan selanjutnya dengan judul Nederlanders in het buitenland
onvoldoende beschernd atau warga negara Belanda tidak cukup memperoleh
perlindungan di luar negeri.
Dalam tulisannya,
Profesor van BEMMELEN talah memberikan babarapa contoh tentang kurangnya
perlindungan yang diperoleh para warga negara Belanda yang berada di luar
negeri dari Undang-undang Pidana yang mereka miliki. Contoh-contoh itu adalah:
sebuah kapal Belanda berada dalam bahaya di laut bebas. Sebuah kapal asing yang
kebetulan berada di dekat kapal Belanda tersebut telah menangkap tanda bahaya
yang telah di kirimkan oleh kapal Belanda yang berada dalam keadaan bahaya itu.
Akan tetapi nakoda kapal asing tersebut ternyata menolak memberikan
pertolongannya. Kapal belanda itu kemudian tenggelam ke dasar laut dengan
seluruh muatannya dan seluruh awak kapalnya. Kapal asing yang telah menolak
memberikan pertolongan kepada kapal Belanda itu kemudian memasuki sebuah pelabuhan
di negeri Belanda. Akan tetapi polisi di negeri belanda itu tidak dapat berbuat
apa-apa, oleh karena undang-undang Pidana negeri Belanda itu tidak dapat di
berlakukan terhadap nahkoda kapal asing tersebut. Mengenai hal tersebut
bertanyalah Prof. van BEMMELEN: “ Apakah benar bahwa baik di dalam hukum pidana
Belanda maupun di dalam hukum pidana internasional itu terdapat suatu
kekosongan itu benar-benar ada.
Di katakan selanjutnya
oleh professor van BEMMELEN, bahwa hukum pidana nasional di negara belanda itu
sama sekali tidak memberikan perlindungan bagi nyawa negara Belanda, baik di
luar negeri maupun di laut bebas. Bahkan juga apabila misalnya seorang warga
negara Inggris telah membunuh seorang warga negara Belanda di London kemudian
melarikan diri ke negeri Belanda, baik polisi maupun penuntut umum di negeri
Belanda tidak dapat berbuat apa-apa terhadap warga negara Inggris tersebut,
selama pemerintah Inggris tidak meminta kepada pemerintah Belanda untuk
menyerahkan orang itu untuk di tuntut berdasarkan Undang pidana yang berlaku di
negaranya.
Profsor van BEMMELEN itu
selanjutnya juga mencatat suatu kenyataan, bahwa Undang-undang pidana Belanda
justru mengancam dengan hukuman setiap nahkoda Belanda yang tidak memberikan
pertolongannya kepada kapal lain yang berada dalam bahaya, dan sebaliknya tidak
memberikan suatu sanksi bagi nakoda-nakoda asing yang tidak memberikan
pertolongannya kepadasebuah kapal yang berada dalam bahaya. Ia menganggap bahwa
kualifikasi sebagai pelanggaran dalam tindak pidana tersebut di atas adalah
tidak memadai, dan ia berpendapat bahwa tindak pidana semacam itu sudah
selayaknya di kualifikasikan sebagai kejahatan.
Tulisan professor van
BEMMELEN di atas seharusnya sudah sejak lama dapat di ambil manfaatnya oleh
pembentuk Undng-undang kita untuk menyempurnakan Undang-undang Pidana yang
berlaku di Indonesia, misalnya dengan menambahkan suatu ketenruan baru dalam
kitab Undang-undang Hukum Pidana kita, yang mengatakan bahwa Undang-undang
pidana itu juga dapat di berlakukan terhadap setiap orang asing yang di luar
Indonesia telah melakukan suatu tindakan yang menurut Undang-undang negara di
mana tindakan tersebut telah di lakukan, di ancam dengan suatu hukuman apapun
yang telah di lakukan di suatu tempat dimana tidak suatu Undang-undang negara
mana pun yang berlaku, sejauh tindakan tersebut telah ditujukan kepada bangsa
Indonesia atau kepada warga negara Indonesia.
Ketentuan seperti di
maksud di atas itu bukansaja di kehendaki oleh pemikiran seperti yang terdapat
dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi antara lain : “yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”.
Melainkan juga sangat di butuhkan untuk melindungi kepentingan-kepentingan
hukum setiap warga negara Indonesia, baik yang bersifat nasional maupun yang
bersifat pribadi, di manapun kepentingan-kepentingan hukum tersebut berada.
Mengenai kekurangan
terdapat dalam rumusan pasal 5 KUHP seperti yang telah di kemukakan oleh
profesor van HATTUM di atas adalah, bahwa dengan adanya persyaratan bahwa
“menurut undang-undang dari negara di mana di mana suatu tindak pidana itu
telah di lakukan harus juga di ancam dengan suatu hukuman “. Maka sebagai
akibat ialah bahwa terhadap para pelaku tindak pidana yang telah meakukan
tindakannya di luar wilayah kekuasaan suatu negara tidak dapat di berlakukan
ketentuan menurut undang-undang yang berlaku di Indonesia. Sebagai contoh telah
di kemukakan oleh professor van HATTUM suatu tindak pidana yang telah di
lakukan di lautan bebas di luar suatu alat pelayaran. Seperti telah di katakan
di ata, professor van HATTUM juga meragukan apakah suatu tindak pidana yang
telah di lakukan di atas sebuah kapal asing yang sedang berlayar di laut bebas
itu dapat di anggap sebagai telah di lakukan di dalam wilayah suatu negara
tertentu, mengingat bahwa asas “schip is teritoriair” itu secara tegas telah
dinyatakan tidak di anut oleh pembentuk undang-undang pada waktu membentuk
pasal 3 KUHP.
Dengan alasan yang sama
NOYON berpendapat bahwa ketentuan ketentuan pidana seperti yang di atur dalam
pasal 5 ayat 2 KUHP itu tidak mungkin di berlakukan terhadap orang telah
melakukan suatu tindak pidana da atas sebuah kapal asing yang sedang berlayar
di laut bebas. Professor SIMONS berpendapat, bahwa ketentuan pidana seperti
yang di atur dalam pasal 5 ayat 1 angka 2 KUHP itu hanya dapat di berlakukan
terhadap orang telah melakukan suatu tindak pidana di atas sebuah kapal asing
yang sedang berada di laut bebas, apabila negara asal kapal tersebut menganut
paham “schip is territoir “. Sebaliknya Prof. POMPE dan LANGEMEIJER
berpendapat,bahwa mengingat maksudketentuan pidana seperti yang telah diatur
dalam Pasal 5ayat 1 angka 2 KUHP, maka ketentuan pidana tersebut selalu dapat
diperluas berakunya, yaitu sampai aa tinak-tindak pidana yang dilakukan atas
sebuah kapal asing yang sedang berada di laut bebas. Sedang Prof. van HATTUM
sendiri menyatakan kesependapatannya dengan Prof. POMPE dan LANGEMEIJER dalam
hal tersebut di atas, dengan alasan bahwa pendapat edua guru besar itu sesuai
dengan pendapat pembentuk undang-undang.
Untuk mendapat kejelasan
tentang ketentuan pidana seperti yang diatur dalam Pasal 5 KUHP itu,pada
akhirnya kita juga harus mengetahui alasan dibentuknya ketentuan pidana seperti
yang terdapat dalam Pasal 5 ayat 2 KUHP.
Ketentuan pidana seperti
yang diatur dalam pasal 5 ayat 2 KUHP itu telah dibentuk dengan maksud untuk
mencegah para warga asing yang melakukan suatu tindak pidana di luar negeri
yang bersifat sangat merugikan itu jangan sampai tetap tidak dapat dihukum,
karena setelah melakukan suatu tindak pidana itu kemudian merekam menjadi warga
negara Indonesia, yang tidak mengenal ketentun tentang kewajiban menyerahkan
warga negara sendiri kepada suatu warga negara asing.
Negara kita hanya
mengenal penyerahan atau utilevering warga negara asing, yang di luar negara
Indonesia telah melakukan beberapa tindak pidana tertentu,yaitu yang secara
limitative telah disebutkan dalam pasal 2 K.B. tanggal 8 Mei 1883 No. 26
Staatsblad 1883 No. 188.
Tidak ada kewajiban bagi
warga negara kita untuk menyerahkan setiap warga negara asing kepada setiap
negara asing yang telah meminta kepada negara kita untuk menyerahkan
warga-warga negara asing tersebut kepada mereka, kecuali kepada negara-negara
asing yang telah mengadakan perjanjian penyerahan dengan negara kita.
Sejak Indonesia
memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, baru pada tanggal
7 Juni 1974 pertama kalinya RI mengadakan perjanjian ekstradisi dengan negara
asing, yakni dengan pemerintah Malaysia yang telah disahkan dengan UU No. 9
Tahun 1974 (LN. 1976 No. 38) dan terakhir dengan pemerintah kerajaan Thailan
pada tahun 1978 yang telah disahkan dengan UU No. 2 Tahun 1978 (LN. 1978 No. 2
T.L.N Nomor 3117).
Seperti yang telah
dikatakan di atas, asas kebangsaan seperti yang dianut oleh undang-undang
pidana kita itu dapat kita jumpai dalam rumusan ketentuan pidana menurut Pasal
7 KUHP.
Pasal 7 KUHP tersebut
berbunyi: “Ketentuan-ketentuan pidana menurut undang-undang Indonesia itu dapat
diberlakukan terhadap pegawai negeri Indonesia, yang di luar negara Indonesia
telah bersalah melakukan salah satu tindak pidana yang dirumuskan di dalam Bab
ke-XXXVIII dari buku ke-II KUHP.
Dari ketentuan Pasal 7
KUHP di atas, diketahui bahwa dimanapun seorang pegawai negeri Indonesia itu
berada, apabila ia bersalah telah melakukan salah satu tindak pidana seperti
yang dirumuskan dalam NAN ke-XXVIII Buku ke-II KUHP, maka terhada dirinya tetap
diberlakukan Undang-undang pidana yang berlaku di negaranya.
Perkataan “pegawai negeri
Indonesia” dalam Pasal 7 KUHP haruslah ditafsirkan sebagai setiap orang yang
bekerja pada Pemerintah Indonesia, ehingga ia dapat merupakan seorang warga
negara Indonesia atau seorang warga negara dari suatu negara asnig, asalkan ia
memenuhi pernyataan untuk disebut sebagai pegawai negeri Indonesia.
KUHP sendiri telah tidak
memberikan penjelasannya tentng apa yang dimaksud “pegawai negeri”, akan tetapi
dalam pasal 92 hanya menjelaskan tentang siapa saja yang dapat dianggap sebagai
seorang pegawai negeri, dan dalam pasala 215 hanya menjelaskan tentang siapa
saja yang dapat disamakan dengan pegawai negeri dan itupun hanya berlaku bagi
pengertian pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 211-214 KUHP,
sehingga tidak berlaku bagi pengertian pegawai negeri menurut Pasal 7 KUHP dan menurut
rumusan pasal-pasal dalam BAB ke-XXVIII dari buku ke-II KUHP di atas.
Menurut HOGE RAAD, yang
dimaksud pegawai negeri adalah mereka yang diangkat oleh kekuasaan umum yang
berwenang dalam suatu jabatan umum untuk melaksanakan sebagian dari tugas negara
atau dari alat-alat kekuasaannya.
Kejahatan-kejahatan yang
dirumuskan dalam Bab ke-XXVIII dari Buku ke-II KUHP seperti dalam Pasal 7 KUHP
itu adalah jenis kejahatan yang oleh Undang-undang sendiri dinamakan
“kejahata-kejahatan jabatan” atau “ambtsmisdrijven” yang biasanya juga
dilakukan orang di luar negeri, sehingga pembentuk undang-undang merasa perlu
memberikan contoh tentang bilamana kejahatan semacam itu dapat dilakukan di
luar negeri.
Dalam memory penjelasan
tentang pembentukan pasal 7 KUHP di atas, pembentuk undang-undang telah memberi
beberapa contoh tentang bilaman suatu kejahatan jabatan itu dapat dilakukan
orang di luar negeri, misalnya pada waktu pegawai pos yang menumpang kereta api
telah melintasi perbatasan negara atau sewaktu pegawai pos yang menumpang
kereta apai telah melintasi perbatasan negara atau pada waktu pegawai-pwegawai
polisi yang bertugas mengawal tahanan untuk diserahkan kepada suatu negara
asing telah melintasi perbatasan negaranya dan memasuki kekuasaan suatu negara
lain.
Timbul kini suatu
pertanyaan, apakah terhadap mereka yang telah menggerakkan seorang pegawai
negeri Indonesia di luar negeri untuk melakukan suatu kejahatan jabatan ataupun
terhadap mereka yang telah membantu seorang pegawai Indonesia di luar negeri
yang melakukan sautu kejahatan jabatan juga dapat diberlakukan
ketentuan-ketentuan pidana menurut undang-undang yang berlaku di Indonesia?
Berlakunya ketentuan
pidana seperti yang diatur dalam Pasal 7 KUHP itu semata-mata digantungkan pada
keadaan si pelaku sebagai pegawai negeri Indonesia. Oleh karenanya
ketentuan-ketentuan pidana menurut undang-undang yang berlaku di Indonesia itu
tidak dapat diberlakukanb tehadap mereka yang di luar negeri telah menggerakkan
seorang pegawai negeri Indonesia untuk melakukan kejahatan jabatan tauapun
untuk mereka yang di luar negeri telah membantu seorang pegawai negeri
Indonesia untuk melakukan satu kejahatan jabata, kecuali apabila mereka sendiri
pada waktu menggerakkan atau membantu seorang pegawai negeri Indonesia
melakukan suatu kejahatan jabatan, juga telah berindak dalam keadaanya sebagai
pegawai negeri Indonesia.
Mengenai pasal 5 dan
pasal 7 KUHP itu sendiri, pada akhirnya masih perlu di ketahui bahwa pada
umumnya para penulis sependapat bahwa dalam ketentuan pidana seperti yang di
atur dalam pasal 5 KUHP itu terdapat asas kebangsaan. Akan tetapi tidak
demikian halnya dengan asas yang terdapat dalam ketentuan pidana sepeti yang
diatur dalam pasal 7 KUHP. Berbeda dengan pendapat lain-lain penulis yang
menganggap bahwa dalam ketentuan pidana seperti yang di atur dalam pasal 7 KUHP
itu terdapat asas kebangsan, maka profesor van BEMMELEN berpendapat bahwa dalam
ketentuan pidana tersebut bukan hanya terdapat asas kebangsaan, melainkan juga
asas perlindungan, oleh karena didalamnya juga terkandung kepentingan negara,
yaitu agar para pegawai negeri Indonesia iru tidak melakukan suatu kejahatan
jabatan di luar negeri.
Dianutnya asas kebangsaan
dalam perundang-undangan pidana di Indonesia itu, kecuali yang dapat di lihat
dalam rumusan-rumusan ketentuan-ketentuan pidana seperti yang dia atur dalam
pasal 5 dan pasal 7 KUHP tersebut di atas, juga dapat di jumpai dalam rumusan
pasal 22 dari Consulaire wetstaatsblad tahun 1972 No. 207 yang mengatakan :
“Terhadap tindak pidana
yang telah di lakukan oleh warga negara Indonesia di dalam lingkungan
kekonsulan-kekonsulan seperti yang di sebutkan di dalam pasal 1 c di atas dapat
di berlakukan Undang-undang pidana Indonesia selama tidak di tentukan lain di
dalam undang-undang ini atau di dalam suatu peraturan umum.”
Bahkan juga dalam
rumusan-rumusan pasal 4 dan pasal 5 kitab undang-undang Hukum Militer, yang
dengan syarat-syarat tertentu telah memperluas berlakunya Undang-undang pidana
Indonesia itu terhadap anggota militer Indonesia yang di luar negeritelah
melakukan suatu tindak pidana walaupun menurut undang-undang pidana dimana
tindak pidanya telah di lakukan, anggota militer tersebut tidak di ancam dengan
suatu hukuman kerena perbuatannya itu.
Menurut asas perlindungan
berlakunya undang-undang pidana suatu negara itu tuidak bergantung pada tempat
seorang pelaku telah melakukan tindak pidananya, melainkan pada kepentingan
hukum yang telah menjadi sasaran tindak pidana tersebut. Dan negara yang
berkepentingan hukumnya menjadi sasaran tindak pidana itu berwenang menghukum
pelaku tindak pidana tersebut. Alasannya adalah bahwa pada setiap negara telah
di beri kepercayaan oleh rakyatnya untuk melindungi kepentingan-kepentingan
hukum mereka, sehingga setiap negara juga berwenang memperluas berlakunya peraturan-peraturan
perundang-undangannya sejauh tanggung jawabnya untuk melindungi
kepentingan-kepentingan hukum rakyat yang telah di percayakan kepadanya iti
menghendaki ia berbuat demikian.
Dalam kitab pelajarannya
berkatalah professor SIMONS antara lain :
“bahasa belanda hal 107”
Perkataan “rechtsgoed”
dalam kalimat di atas itu dalam praktek ternyata sering di terjemahkan dalam
bahasa Indonesia dengan perkataan “benda hukum”, yang sebenarnya tidak benar
sama sekali. Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana kita memeng di kenal
pengertian benda menurut suatu pasal KUHP, akan tetapi pengertian yang
sebenarnya dari apa yang oleh professor SIMONS tersebut “rechtgoed” itu berbeda
dengan penertian benda menurut suatu pasal KUHP seperti dimaksud diatas.
Perkataan “rechtgoed”seperti
yang telah di gunaka professor SIMONS itu sebenarnya adalah terjemahan menurut
professor SIMONS sendiri dari perkataan “Rechtsgut” dalam bahasa Jerman.
Di Jerman sendiri
perkataan “Gut” masih menjadi permasalahan di antara para penulis, yaitu tentang
hubungannya dengan pengertian perkataan ”interesse” atau “kepentingan”. Di
antara para penulis jerman yang pernah mempergunakan perkataan “rechtsgut” itu
adalah von LISZT dan itupun dalam rangka membahas hubungan “gut” gengan
interesse, ia mengatakan antara lain: “die durch das recht geschutzten
interessen” ingin saya sebut “rechtsguter”. Atau “kepentingan yang di lindungi
oleh hukum itu ingin saya sebut rechtsguter”.
Perkataan rechtsgut yang
oleh professor SIMONS telah di terjemahkan di dalam bahasa belanda dengan
perkataan rechtgoed dan dalam praktek di Indonesia sering di terjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia dengan perkataan benda hukum itu sebenarnya mempunyai
arti yang sama dengan rechtsbelang atau kepentingan hukum, sehingga perkataan
rechtgoed menurut professor SIMONS itu sebaiknya di terjemahkan dengan
perkataan kepentingan hukum, yakni suatu perkataan yang lebih sederhana dan
yang lebih lazim di pergunakan oleh orang dalam ilmu pengetahuan hukum.
Professor SIMONS sendiri
yang berpendapat bahwa keberatan-keberatan terhadap panggunaan perkataaan
rechtgoed itu tidak beralasan sama sekali, pada akhirnya juga telah menyatakan
kesetujuannya terhadap panggunaan perkataan rechtsbelang di samping perkataan
rechtgoed, yang menurut professor SIMONS meliputi setiap cirri manusia,
hak-hak, lembaga-lembaga, keadaan-keadaaan atau hubungan-hubungan yang ada
hubungannya dengan kepentingan-kepentingan yang telah menjadi sasaran suatu
tindak pidana.
Dalam Undang-undang
Pidana Indonesia, asas perlindungan itu dapat kita jumpai antara lain di dalam
ketentuan-ketentuan pidana seperti yang di rimuskan dalam pasal-pasal 4 dan 8
KUHP.
Dalam pasal 4 KUHP telah
di tentukan, bahwa ketentuan-ketentuan pidana menurut undang-undang Indonesia
itu dapat diberlakukan terhadap setiap ornag tampa memendang kebangsaan
orang-orang tersebut, yang di luar negara Indonesia telah bersalah melakukan
beberapa tindak pidana tertentu, yang oleh pembentuk undang-undang telah di
golongkan ke dalam jenis kejahatan yang membahayakan kepentingan-kepentiangan
nasional tertentu yang perlu mendapat perlindungan.
Kepentingan-kepentingan
nasional yang di pandang perlu mendapat perlindungan sebagaiman yang telah di
makusud di atas itu adalah:
a. terjaminnya keamanan
negara dan terjaminnya keselamatan serta martabat kepala negara dan wakilnya;
b. terjaminya kepercayaan
terhadap mata uang, materai-materai dan merk-merk yang telah di keluarkan oleh
pemerintah Indonesia;
c. terjaminya kepercayaan
terhadap surat-surat atau sertifikat-sertifikat hutang yang telah di keluarkan
oleh pemerintah Indonesia; dan
d. terjaminnya alat-alat
pelayaran Indonesia terhadap kemungkinan di bawa ke dalam kekuasaan-kekuasaan
bajak laut.
Dalam pasal 8 KUHP telah
di tentukan, bahwa ketentuan-ketentuan pidana menurut undang-undang Indonesia
itu dapat di berlakukan terhadap nahkoda dan penumpang sebuah alat pelayaran
Indonesia tidak melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran pelayaran di luar
negeri.
Dari ketentuan-ketentuan
pidana tersebut di atas dapat di ketahui, bahwa asas perlindungan itu secara
jelas oleh pembentuk undang-undang telah di ajukan untuk melindungi
kepentingan-kepentingan hukum yang bersifat lebih umum daripada yang sekedar
yang bersifat pribadi. Berbeda dengan negara kita, dewasa ini banyak negara
lain telah menganut asas perlindunngan dalam undang-undang pidana mereka untuk
melindungi nyawa warga-warga negaranya dimanapun mereka itu berada.
Di Indonesia keadaanya
lain lagi. Nyawa warga negara Indonesia yang berada di luar negeri itu sama
sekali tidak mendapat perlindungan dari negara, khususnya apabila kepentingan
hukum yang mungkin paling berharga bagi setiap warga negara Indonesia itu telah
menjadi sasaran tindak pidana yang telah di lakukan oleh warga negara dari
negara-negara asing di luar negeri.
Undang-undang pidana kita
seperti yang dewasaini berlaku di negara kita, dalam penerapannya kadang-kadang
menimbulkan hal-hal yang aneh dan bukan tidak mungkin oleh sebagian orang telah
di anggap sebagai undang-undang yang kurang adil bagi warga negara Indonesia.
Contohnya : seorang
mahasiswa warga negara Indonesia yang sedang menuntut pelajaran di jepang telah
di bunuh oleh seseorang disana. Untuk menghindarkan diri dari kemungkinan
dituntut menurut undang-undang pidana yang berlaku disana, pembunuhnya telah
melarikan diri dari jepang dan menyamar bebagai seorang turis, dan justru telah
pergi ke Indonesia, dimana ia kemudian telah di ketahui oleh alat-alat negara
indonesiasebagai pelaku pembunuhan terhadap mahasiswa warga negara Indonesia
termaksud di atas.
Apabila yang telah
melakukan pembunuhan terhadap warga negara Indonesia di atas itu misalnya
seorang warga negara jepang, maka alat-alat negara Indonesia tidak dapat
berbuat sesuatu terhadap pembunuh yang berkewarganegaraan jepang tersebut, oleh
kerena ketentuan-ketentuam pidana menurut undang-undang Indonesia tidak dapat
di berlakukan terhadap dirinya. Ia mungkin baru di tuntut dan di hukum menurut
undang-undang yang berlaku di jepang, apabila sewaktu-waktu ia kembali ke
negaranya dan itupun bergantung pada kenyataan apakah perbuatannya itu telah di
ketahui oleh alat-alat negara di sana atau belum. Selama ia berada di bunmi
Indonesia dan selama pemerintah jepang tidak meminta kepada pemerintah
Indonesia untuk menyerahkan orang tersebut untuk dituntut di negaranya, maka ia
bebas pergi kemana-mana saja di Indonesia tanpa alat-alat negara di sini dapat
berbuat sesuatu terhadap dirinya.
Apa kiranya yang akan
terjadi seandainya yang telah melakukan pembunuhan terhadap warga negara
Indonesia seperti di maksud di dalam contoh di atas itu bukan seorang warga
negara jepang, melainkan seorang warga negara Indonesia lainnya yang katakanlah
sedang berlibur di jepang? Karena perbuatannya itu merupakan suatu kejahatan
seperti dimaksud dalam pasal 338 KUHP dan karena perbuatannya itu telah di
ancam dengan suatu hukuman oleh undang-undang yang berlaku di jepang, maka
menurut ketentuan undang-undang pasal 5 ayat 1 angka 2 terhadap dirinya dapat
diberlakukan ketentuan-ketentuan pidana menurut undang-undang Indonesia,
sehingga setibanya kembali di tanah air orang tersebut pasti akan di tangkap
oleh alat-alat negara dan di tuntut dengan tuduhan telah melakukan pembunuhan,
yakni melanggar pasal 338 KUHP.
Bolehkah keganjilan
seperti dimaksud di atas di pandang sebagai sesuatu yang wajar untuk tetap di
pertahankan dalam alam kemerdekaan dewasa ini? Kekosongan yang terdapat di
dalam undang-undang pidana kita itu perlu segera di isi, misalnya dengan
menambahkan perkataan “suatu kejahatan terhadap tubuh dan nyawa warga negara
Indonesia” pada rumusan ketentuan pidana seperti yang terdapat dalam
pasal-pasal 4 dan 5 ayat 1 KUHP.
Marilah kita melihat
pasal 8 KUHP yang berbunyi: “ketentuan-ketentuan pidana menurut undang-undang
Indonesia itu dapat di berlakukan terhadap nakoda dan penumpang-[enumpang dari sebuah
alat pelayaran Indonesia yang telah bersalah melakukan salah satu tindak pidana
seperti yang telah di rumuskan di dalam bab ke XXIX buku ke-II dan di dalam bab
ke-IX buku ke-III di luar negara Indonesia, juga apabila tindak pidana tersebut
telah di lakukan di luar alat pelayaran tersebut”.
Pentingnya ketentuan
pidana seperti yang telah di rumuskan dalam pasal 8 KUHP di atas itu terletak
pada di cantumkannya perkataan “di luar alat pelayaran” dalam rumusan ketentuan
pidana tersebut. Karena jika tindak-tindak pidana seperti yang di maksud dalam
pasal 8 KUHP itu telah di lakukan orang “di atas alat pelayaran” maka terhadap
para pelakunya dapat di berlakukan ketentuan pidana seperti yang telah di atur
dalam pasal 3 KUHP yang telah di bicarakan terlebih dahulu.
Berlakunya ketentuan
pidana seperti yang telah di atur dalam pasal 8 KUHP itu bergantung pada
keadaan si pelaku, yaitu sebagai nakoda atau sebagai penumpang alat pelayaran
Indonesia yang bersangkutan.
Timbul kini pertanyaan
dapatkah terhadap seseorang yang telah menggerakan seorang nakoda atau seorang
penumpang alat pelayaran Indonesia di luar negeri untuk melakukan kejahatan
atau pelanggaran di luar alat pelayaran yang ia pimpin atau tumpangi itu di
berlakukan ketentuan pidana menurut undang-undang Indonesia seperti yang di
atur dalam pasal 8 KUHP? Atau dapatkah ketentuan pidana menurut undang-undang
Indonesia di berlakukan terhadap seseorang yang telah membantu nakoda atau
penumpang sebuah alat pelayaran Indonesia melakukan tindak pidana seperti yang
telah di atur dalam pasal 8 KUHP tersebut?
Menurut
NOYON-LANGEMEIJER, ketentuan pidana dalam pasal 8 KUHP itu hanya di tujukan
kepada nakoda dan penumpang suatu alat pelayaran Indonesia. Ini berarti bahwa
ketentuan pidana seperti yang di atur dalam pasal 8 KUHP itu tidak dapat di
berlakukan terhadap siapapun yang di luar negeri telah menggerakan seseorang
nakoda atau seorang penumpang sebuah alat pelayaran Indonesia untuk melakukan
suatu kejahatan atau pelanggaran pelayarandi luar alat pelayaran yang di pimpin
atau di tumpanginya, kecuali jika dalam melakukan perbuatannya itu orang
tersebut telah bertindak dalam keadaannya sebagai nakoda ataupun sebagai
penumpang alat pelayaran itu sendiri.
Apakah ini berarti bahwa
orang yang telah menggerakan seorang nakoda atau seorang penumpang sebuah alat
pelayaran Indonesia untuk melakukan suatu tindak pidana, atau orang yang telah
membantu di lakukannya suatu tindak pidana oleh seorang nakoda atau seorang
penumpang sebuah alat pelayaran Indonesia itu tidak pernah dapat di tuntut dan
di hukum menurut perundang-undangan pidana yang berlaku di Indonesia?
Menurut hemat saya, dalam
hal tersebut kita harus melihat kebangsaan si pelaku, jika ia seorang warga
negara asing jelaslah bahwa ia tidak akan pernah dapat di tuntut dan di hukum
menurut perundang-undangan pidana yang berlaku di negara kita, kerena tidak ada
sebuah pasalpun dalam undang-undang kita yang melarang orang asing turut serta
dalam melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran pelayaran di luar negeri.
Bagaimana jika pelaku tersebut adalah warga negara indomesia?
Jika perbuatannya itu
menurut undang-undang pidana kita di kualifikasikan sebagai kejahatan, dan di
negara tempat perbuatan itu dilakukan, oleh undang-undang pidana yang berlaku
di negara tesebut di ancam dengan suatu hukuman, maka berdasarkan bunyi
ketentuan pidana seperti yang telah di atur dalam pasal 5 ayat 1 angka 2 KUHP,
warga negara Indonesia itu tetap dapat di tuntut dan di hukum menurut
perundang-undangan pidana yang berlaku di Indonesia.
Asas perlindungan itu di
negara kita juga dapat di jumpai dalam bab 1 pasal 3 dari undang-undang darurat
No. 7 tahun 1955 tentang tindak pidana ekonomi, lembaran negara tahun 1955 No.
27 yang mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan pidana menurut undang-undang
Indonesia itu juga berlaku bagi mereka yang di luar negeri talah turut serta
melakukan tindak pidana ekonomi seperti yang di maksud dalam undang-undang
darurat No. 7 tahun 1955 tersebut.
Menurut asas persamaan,
setiap negara mempunyai kewajiban untuk turut serta dalam usaha memelihara
keamanan dan ketertiban dunia dan negara-negara lain yaitu seperti yang
terdapat antara lain dalam pasal-pasal 438 dan 444 KUHP, yang mengancam dengan
hukuman terhadap siapa saja yang telah bersalah melakukan pembajakan di laut
dengan segala akibat yang mungkin dapat timbul karena perbuatan tersebut. Asas
persamaan ini juga dapat di jumpai dalam ketentuan-ketentuan pidana sebagaimana
telah di atur dalam pasal 4 angka 2 dan pasal 4 angka 4 KUHP sejauh
kepentingan-kepentingan negara lain juga dilindungi oleh ketentuan-ketentuan
pidana tersebut.
Pasal 4 anggka 2 KUHP itu
semula di bentuk semata-mata untuk melindungi mata uang dan uang kertas negara
ataupun uang kertas yang telah di keluarkan oleh bank silkurasi, akan tetapi
sejak tahun 1932 yang harus dilindungi itu bukan hanya mata uang dan uang
kertas negara melainkan juga mata uang dan uang kertas negara lain, sehingga
tidak salah kiranya apabila orang berpendapat bahwa pasal 4 anggka 2 KUHP itu
mengandung asas persamaan. Dengan demikian, maka apabila ada orang asing yang
memalsukan mata uang atau uang kertas negara asalnya di Indonesia, orang
tersebut akan di tuntut dan di adili menurut undang-undang pidana yang berlaku
di negara ini.
HAZEWINKEL-SURINGA
berpendapat bahwa asas persamaan itu bukan hanya terdapat dalam pasal-pasal 438
dan 444 KUHP, melaikan juga dalam pasal-pasl 445 dan 446 KUHP yang semuanya
bertujuan memberantas pembajakan di laut dan lain-lain perbuatan yang ada
hubungannya dengan tidak pidana tersebut.
Pembajakan di laut atau
yang ada dalam bahas kita juga sering di sebut sebagai perompakan sangat jarang
di lakukan orang dalam suatu wilayah kekuasaan suatu negara, melainkan di laut
bebas. Sebuah kapal perompak di anggap sebagai kapal yang tidak mempunyai
kebangsaan, sedangkan para perompaknya itu sendiri menurut hukum antar bangsa
di pandang sebagai “hostis generic humani”, sehingga mereka itu dapat di adili
oleh negara manapun di dunia ini, yang alat-alat negaranya telah berkasil
menanggkap mereka. Apabila negara-negara di dunia ini tidak berusaha membuat
dirinya masing-masing berwenang untuk bertindak terhadap para perompak seperti
yangdi maksud di atas, maka tindak pidana perompak itu tidak akan perna dapat
di tuntut oleh negara manapun juga. Oleh karena itulah maka pembentuk
undang-undang kita merasa perlu membentuk ketentuan pidana seperti yang dewasa
ini kita jumpai dalam pasal 4 angka 4 KUHP.
Sebagian besar
negara-negara di dunia ini mempunyai pandangan yang sama mengenai beberapa
perbuatan manusia yang di pandangnya sebagai perbuatan-perbuatanyang harus di
berantas. Misalnya apa yang di sebut slavenhandel atau perdagangan budak,
handel in blanke slavinnen atau perdagangan wanita, yakni usaha untuk
menyediakan wanita-wanita bagi rumah-rumah pelacuran ataupun juga apa yang di
sebut handel in verdovende middelen atau perdagangan obat-obat bius semua bangsa
yang beradab pastilah mengutuk perbuatan-perbuatan seperti itu.
Dalam hal ini asas
persamaan akan sangat membantu keinginan manusia untuk memberantas
pebuatan-perbuatan di atas, yaitu apabila setiap negara mau memasukan
perbuatan-perbuatan di atas sebagai tindak pidana, terhadap setiap pelakunya
dapat di berlakukan ketentuan-ketentuan pidana menurut undang-undang yang
berlaku di negara masing-masing tanpa membedakan kebangsaan si pelaku dan tanpa
memandang di manapun perbuatan itu telah di lakukan.
Akan tetapi asas
persamaan tersebut juga memberi peluang terhadap timbulnya
pertentangan-pertentangan antarbangsa, mengingat tidak adanya kesamaan dalam
undang-undang pidana yang berlaku di berbagai negara di dunia ini. Untuk
mencegah terjadinya pertentangan-pertentangan seperti di maksud di atas, jalan
keluar yang terbaik adalahmelalui perjanjian-perjanjian yang dapat di adakan
antara negara yang satu dengan negara yang lainnya, dimana diperjanjikan
cara-cara yang dianggap paling baik untuksecara bersama-sama memberantas tindak
pidana seperti di maksud diatas.
3. Pengecualian-pengecualian yang diakui oleh hubungan antar
Bangsa
Apabila pada awalnya
pembahasan mengenai”berlakunya undang-undang pidana menurut tempat” ini telah
di katakana bahwa ketentuan dalam pasal 9 KUHP itu merupakan perluasan
penyimpangan dari yang di sebut elementer prinsip oleh MAYER, maka baiklah kita
melihat apa yang sebenarnya telah di tentukan dalam pasal 9 KUHP tersebut.
Pasal 9 KUHP berbunyi:
“pemberlakuan dari pasal-pasal 2-5, 7 dan 8 itu dibatasi oleh
pengecualian-pengecualian yang di akui dalam hukum antarbangsa”.
Dicantumkan ketentuan
tersebut di dalam undang-undang pidana kita sebenarnya tidak perlu, setiap
undang-undang pidana negara manapun di dunia wajib menghormati asas-asas hukum
antar bangsa yang telah di akui secara umum. Akan tetapi pencantumannya dalam
kitab undang-undang hukum pidana kita itu dapat di mengerti, oleh karena pada
waktu kitab undang-undang pidana di bentuk, terdapat suatu pendapat yang
bersifat umum, bahwa kebiasaan yang tidak dapat berlaku sebagai hukum apabila
undang-undang sendiri tidak menentukan sebaliknya. Padahal apa yang di sebut
hukum antarbangsa itu sesungguhnya tidak lain daripada kebiasaan-kebiasaan
dalam hubungan antar bangsa yang lazim dan secara terus menerus di lakukan
orang, sehingga akhirnya di anggap sebagai hukum yang berlaku.
Menurut memori penjelasan
mengenai pembentukan pasal 9 KUHP itu, asa yang mengatakan bahwa “kebiasaan itu
dapat berlaku sebagai hukum” dan yang telah di tuangkan dalam pasal 15 algemene
bepalingen, berlaku juga bagi kebiasaan-kebiasaan antarbangsa seperti yang di
maksud di atas tanpa memandang apakah kebiasaan-kebiasaan tersebut telah
demikian lama di akui atau di lakukan orang dalam praktek.
Pasal 15 algemene
bepalingen van wetgeving, statsblad 1847 No. 23 yang berasal dari pasal 3
algemene bepalingen van wetgeving yang berlaku di negeri belanda itu berbunyi:
“bahasa Belanda hal. 115”
Yang artinya: “selain
daripada pengecualian-pengecualian yang di nyatakan berlaku bagi orang-orang
Indonesia dan orang –orang yang di persamakan dengan orang-orang Indonesia,
kebiasaan itu tidak berlaku sebagai hukum, kecuali jika undang-undangmenentukan
demikian”.
Sebagaimana yang telah di
katakana di atas, apa yang di sebut hukum antarbangsa itu sesungguhnya
merupakan kebiasaaan-kebiasaan yang dengan sendirinya adalah tidak
tertulis.dengan di tentukannya di dalam pasal 9 KUHP bahwa berlakunya
ketentuan-ketentuan pidana seperti yang di rumuskan dalam pasal—pasal 2-5 7 dan
8 KUHP itu di batasi olehpenecualian-pengecualianyang di akui dalam hukum
antarbangsa, terhadap siapa saja dan dalam hal yang bagaimana
ketentuan-ketentuan pidana menurut undang-undang Indonesia itu tidak dapat di
berlakukan.
Sesuai dengan memori
penjelasan, yang pwrlu mendapat perhatian itu adalah tindak pidana-tindak
pidana, baik yang telah di lakukan orang di dalam maupun di luar negeri,
apabila di dalam tersangkut orang-orang yang mempunyai apa yang di sebut hak
eksteritorial atau recht van exterritorialiteit.
Profesor van HAMEL
berpendapat bahwa hukum antar bangsa yang perlu di perhatikan adalah hukum yang
berlaku pada waktu damai, dan sependapat dengan penulis penulis lain bahwa
dalam hukum antar bangsa seperti yang di maksud dalam pasal 9 KUHP itu yang
terutama adalahhak eksteritorial yang dimiliki oleh para kepala negara asing,
para duta negara asing berikut keluarga dan pegawai-pegawai kedutaan mereka,
kapal-kapal pemerintah khusunya kapal-kapal perang negara asing berikut awak
kapalnya dan personal angkatan perang negara-negara asing yang berada di negara
ini dengan izin dari pemerintah republic Indonesia.
Sebagai akibat dari
dimiliknya hak eksteritorial tersebut, maka terhadap mereka diberlakukan
undang-undang pidana yang berlaku di negara kita, apabila mereka itu telah
melakukan suatu tindak pidana di negara ini. Akan tetapi tidak berarti bahwa
negara kita tidak berhak berbuat sesuatu apabila mereka itu secara nyata telah
mengancam ataui membahayakan kepentingabn-kepentingan nasional kita, hanya saja
bukan dengan cara menurut mereka undang-undang pidana yang berlaku di negara
kita, melainkan dengan cara yang lazim dipakai di hukum antarbangsa, yaitu
misalnya dengan memerintahkan orang tersebut meninggalkan negara kita atau
dengan meminta kepada negara yang telah mengirimkannya ke Indonesia untuk
memanggil kembali orang tersebut ataupun dengan menuntut ganti rugu kepada
negara yang telah mengirimkan orang itu ke Indonesia.
Dalam kebiasaan-kebiasaan
antar bangsa atau yang biasa disebut hukum antar bangsa itu terdapat suatu
pengakuan bahwa hak eksteritorial itu dimiliki oleh :
1. seorang kepala negara
yang dengan persetujuan suatu negara lain telah datang berkunjung ke negara
tersebut dalam rangka perjalanan ke negara-negara lain, kecuali apabila kepala
negara itu atas kemauannya sendiri, telah melepaskan haknya misalnya karena
perjalanan atau kunjungannya itu bersifat incognito. Hak eksteritorial ini
tidak dimilki oleh anggota keluarga atau lain-lain orang yang menyertai kepala
negara tersebut dalam perjalanan atau kunjungannya.
2. seorang duta yang oleh
negara yang satu telah ditempatkan di negara lain tanpa memandang sebutan atau
tingkat, berikut anggota-anggota keluarganya dan pegawai-pegawai kedutaannya.
Tentang apakah hak eksteritorial itu juga dimiliki oleh pegawai-pegawai
kedutaan yang memiliki kewargangaraan dari negara di mana duta itu ditempakan
pemerintahnya, menurut Prof. van HAMEL, masih terdapat perbedaan pendapat.
Menurut Prof. van BEMMELEN, hak eksteritorial itu dimiliki juga oleh “het
eigenlijke gezantschapspersoneel” atau “personal kedutaan yang sebenarnya” atau
yang juga disebut “gens d’uniforme” seperti para konselir dan para sekretaris,
walaupun mereka itu dalam kenyataannya tidak memakai unform atau seragam. Akan
tetapi hak eksteritorial itu tidak dimilki oleh pelayan-pelayan tersebut dengan
personal yang sebenarnya dari suatu kedutaan yang memilki hak ekstreitorial,
mereka itu seringdisebut “gens de livree”.
Hak eksreritorial ini
melekat apda pribadi para duta dan orang-orang lain seperti dimaksud di atas,
akan tetapi ia melekat pada yang disebut “gezantschapshotel” atau “penginapan
kedutaan”. Mengingat bahwa hak ekteritorial itu pada hakikatnya merupakan suatu
hak pribadi, maka tempat kediaman para duta dan keluarga serta para pegawai
kedutaan itu sebenarnya bukan merupakan suatu wilayah negara asing, hanya untuk
memasukinya para penyidik atau penuntut umum harus mendapat izin lebih dulu
dari duta yang ebrsangkutan. Kekebalan yang dimilki oleh seorang duta itu tidak
harus menyebabkan setiap detik yang dilakukan orang di tempat kediamannya itu
dipandang sebgai telah dilakukan di luar batas-batas negara di mana duta
tersebut ditempatkan, sehingga undang-undang pidana negara yang bersangkutan
tidaka dapat diberlakuka terhadap suatu pelaku delik teesebut. Dan karena
itulah HAZEWINKEL SURINGA lebih suka menyebut hak seorang duta itu sebagai
suatu immunitet atau kekebalan daripada hak eksteritorial. Penyebutan tersebut
dipandang lebih tepat karena dengan dimilikinya hak semacam itu oleh seorang
duta, yang menjadi tidak ada itu bukanlah sifatnya yang dapat dihukum tentang
segala sesuatu yang telah ia lakukan, melainkan hanya sifatna yang dapat
dituntut. Dimiliknya kekebalan negara itu oleh seseorang di negara kita tidak
menutup kemungkinan bagi alat-alat negara kita untuk menuntut dan menghukum
mereka yang tidaka memilki kekebalan, yang turut serta melakukan suatu tindak
pidana.
Bagaimana dengan mereka
yang biasa disebut concul atau konsol. Apakah mereka juga memilki hak
eksteritorial atau kekebalan? Walaupun para konsol itu merupakan
pejabat-pejabat dalam pergayulan antarbangsa, akan tetapi mereka itu tidak
memilki hak eksteritorial, sehinggan pada mereka dapat diberlakukan
undang-undang pidana negara di mana mereka ditempatkan. Tiak dapat diberlakukan
undang-undang pidana suatu negara terhadap para konsol yang telah ditempatkan
di negara tersebut hanyalah dapat terjadi melalui perjanjian antara pemerintah
negara yang menempatkan konsol dengan pemerintah negara di mana konsol tersebut
ditempatkan.
Para konsol itu sebenarnya
bukanlah merupakan wakil-wakil diplomatic melainkan hanya wakil-wakil
perdagangan. Walau begitu di Indonesia, para konsol itu mendapat beberapa
keistimewaan antara lain seperti yang telagh ditentukan oleh Pasal 7a
Undang-undang Pengawsan Orang Asing, Undang_undang Darurat No.9 Tahun 1953.
lembaran Negara Tahun 1953 No. 64 yang mengatakan bahwa Undang-undang
Pengawasan Orang Asing tersebut tidak berlaku bagi para pejabat diplomatic dan
konsuler asing.
3. kapal perang suatu
negara dan seluruh awak kapalnya yang berada di wilayah negara lain. Berbeda
dengan apayang disebut gezantschapshotel, kapal-kapal perang itu dipandang
sebagai bagian dari wilayah negara lain dengan segala konsekuensinya, yaitu
antara lain bahwa tindak pidana yang dilakukan di ata kapal perang suatu negara
asing itu harus dipandang sebagai telah dilakukan di atas wilayah negara asing.
Prof. SIMONS dan Prof. van HAMEL berpendapata bahwa terhadap awak kapal perang
asing yang telah melakukan suatu tindak pidana itu hanya dapat diberlakukan
undang-undang pidana negara asalnya, termasuk juga apabila tindak pidana
teesbut telah mereka lakukan di luar kapal perang tempat mereka ditugaskan.
NOYON-LANGEMEIJER berpendapat lain. Hak eksteritorial itu tidak dimiliki secara
pribadi oleh awak kapal perang asing, sehingga terhadap awak kapalnya yang
telah melakukan sutu tindak pidana di luar kapal perang tempat mereka itu
ditugaskan, tetap apat diberlakukan undang-undang pidana negara tempat tindak
pidana mereka tersebut dilakukan.
Apa yang dibicarakan di
atas itu menyangkut keadaan di mana kapal perang suatu negara itu telah
memasuki suatu wilayah negara lain dengan perstujuan dari pemerintah negara
yang dikunjungi. Bagaimana jika sebuah kapal perang eagara aing memasuki sebuah
pelabuhan negara lain tanpa mendapt persetujuan terlebih dulu dari pemerintah
negara pemilik pelabuhan tersebut? Pemerintah negara yang disebut tekhir ini
dapat menolak kedatangan kapal pernag tersebut atau ia dapat memerintahkan
kapal perang tersebut meninggalkan wilayah perairannya, akan tetapi suatu
tindakan menurut hukum pidana tetap terlarang.
Di atas telah dikatakan
bahwa kapal asing tiu dalam kebiasaan antar bangsa diakui sebagai wilayah dari
negara tempat negara kapal pernag tersebut berasal. Ini memungkinkan sebuah kapal
perang dari negara itu menjadi tempat pelarian dari para penjahat dari negara
yang sedang dikunjunginya, dengan akibat bahwa penyerahan para penjahat yang
telah melarikan diri ke atas sebuah kapal perng itu haruslah diminta oleh
pemerintah tempat kapal perang itu sedang berada kepada pemerintah negara
pemilik kapal perang yang bersangkutan atau dengan perkataan lain dalam hal
seperti dimaksud di atas, orang harus menempuh segala tata cara seolah-olah
para penjahat itu telah melewati batas-batas negara da berada di suatunegara
asing.
Apabila suatu warga
negara Indonesia telah melakukan suatu pencurian di atas sebuah kapal perang
asing yang sedang berlabh di salah satu pelabuhan kita, kemudian untuk
menyelamtkan diri dari penagkapan leh awak kapal pernag tersebut, warga negara
Indonesia itu melompat ke laut dan berenang ke pantai, maka apabila orang
tersebut berhasil ditangkap oleh alat-alat negara yang berada di daratan yang
emngetahui perbuataanya itu, orang tesebut akan diajukan di pengadilan karena telah
melakukan suatu pencurian di luar negara Indnesia, melanggar Pasal 5 ayat 2
dihubungkan dengan Pasal 362 KUHP.
Angota-anggota Agkatan
Perang asing yang dengan persetujuan pemerinath suatu negara, berada di atas
wilayah negara tersebut. Kepada mereka itu juga diberikan hak eksteritorial.
Apabila kedatangan angota-anggota angkatan perang suatu negara asing di dalam
suatu negara itu telah terjadi tanpa persetujuan pemerintah dari negara yang
mereka datangi, maka sebagai musuh mereka itu memilki hak yang sama. Sebagai
tentara pendudukan mereka itu hanya patuh padsa hukum yang berlaku di nagaranya
dan hanya dapat diadili oleh suatu pengadilan yang ada di negaranya. Karena
kewajiban untuk patuh pada hukum negara yang dikalahkannya akan bertentangan
dengan kenyataan yang sebenarnya. Maka itu perlu diketahui bahwa bagi tindak
pidana yang telah dilakukan oleh anggota-anggota tentara pendudukan itu,
terhadap pelakunya tidak diberlakukan hukum pidana yang biasa melainkan hukum
perang. Pembunuhan, pembakaran, perusakan dan lain-lain perbuatan yang mereka
lakukanb di negara yang diduduki itu, selam perbuatannya itu berupa
perbuatan-perbuatan yang dapat dibenarkan dalam hukum antarbangsa sebagai
oorlogsdaad atau tindkan peperangan, bukan merupakan tindak pidana menurut undang-undang
pidana yang berlaku di negara yang telah mereka kalahkan. Dengan demikian, maka
tidak dapat dihukumnya anggota-anggota tentara penddudukan itu bukan merupakan
akibat dari tidak dapat diberlakukannya undang-undang pidana negara yang mereka
kalhkan dalam peperangan, melainkan kerna tindakan-tindakan yang bersifat
melanggar hokum.
3 3.
Tindak Pidana Perompakan/Pembajakan di Laut
a.
Perompakan/pembajakan
adalah setiap tindakan kekerasan/ perempasan atau penahanan yang tidak sah,
atau setiap tindakan memusnahkan terhadap orang atau barang, yang dilakukan
untuk tujuan pribadi oleh awak kapal atau penumpang dari suatu kapal/kapal
lain.
b. Kualifikasi tindak pidana dan
pasal–pasal yang dilanggar:
1) Pembajakan (piracy) di laut lepas
melanggar pasal 438 KUHP jo pasal 103 jo
pasal 110 jo pasal 105 jo pasal 107 UNCLOS 1982.
2) Pembajakan di pantai (perompakan),
melanggar pasal 439 KUHP.
3) Pembajakan di pesisir, melanggar hokum
pasal 440 KUHP.
2.2 Penyelesaian sengketa dan upaya
pembebasan terhadap korban sandera.
2.2.1 upaya pembebasan melalui jalur
militer
Pembajak kapal Indonesia oleh Abu
Sayyaf di perairan Filipina sudah dua kali menghubungi pemilik kapal untuk
menyampaikan uang tebusan sejak 26 Maret 2016, kelompok Abu Sayyaf meminta
tebusan sebesar 50 juta Peso atau sekitar Rp. 14 miliar. Kapten kapal pelaut
dari Sangihe Indonesia, Peter Tonsen Baharama tidak bisa dihubungi. Saat ini
pembebasan kapal dan WNI yang disandera oleh kelompok Abu Sayyaf adalah
prioritas utama Kemenlu. Mengetahui bahwa ada kapal dan WNI disandera oleh Abu
Sayyaf, TNI AL siap untuk membantu pemerntah membebaskan sandera.
Kepala Dinas Penerangan Angkatan Laut, Edi
Sucipto mengatakan bahwa pihaknya siap
untuk membantu pemerintah, meskipun belum ada instruksi yang dikeluarkan
pemerintah untuk melakukan pembebasan sandera. Edi menambahkan pasca pembajakan
kapal Indonesia oleh sekelompok Abu Sayyaf, penjagaan diwilayah laut Sulawesi
tidak diperketat, patrol rutin juga dilakukan seperti biasa.
Kemenlu sedang mengumpulkan data dan juga melakukan
koordinasi dengan kepolisian dan TNI untuk membantu proses pembebasan sandera
yang ditahan kelompok Abu Sayyaf. Selain itu pemerintah juga berkoordinasi
untuk melakukan penangkapan terhadap kelompok Abu Sayyaf yang diduga telah
menyandera WNI. Presiden Joko Widodo telah memerintahkan Kepala Kepolisian
Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Badrodin Haiti dan Panglima TNI Gatot
Nurmantyo untuk melacak jejak para penyandera dan ke-10 WNI tersebut. TNI juga
telah menyiapkan pasukan terbaik mereka untuk terjun ke lokasi setiap saat. Ada
tiga pasukan elite yang diterjunkan untuk membebaskan para sandera. Mereka
merupakan pasukan terbaik dengan anggota yang benar-benar memiliki kemampuan khusus
dan terbaik dari yang terbaik.
Angkatan
bersenjata Filipina (AFP) meyakini operasi pembebasan sandera asal Indonesia
yang kini ditawan militant Abu Sayyaf, masih bisa mereka tangani sendiri.
Dengan begitu, tawaran bantuan militer Indonesia yang sekarang sudah
menyiagakan armada tempur di Tarakan serta Bitung, ditolak sacara halus.
Militer Filipina memiliki prinsip tersendiri, sehingga sulit mengizinkan
pasukan asing terlibat dalam pembebasan sandera itu. Kata juru bicara
AFP,Brigadir Jenderal Restituto mengatakan
berdasarkan konstitusi, Negara kami tidak mengizinkan adanya pasukan
asing tanpa perizinan khusus.
Pada tanggal 10 April, 18 prajurit
Filipina tewas dalam operasi pembebasan sandera di Pulau Jolo, Basilan. Mereka
tiba-tiba disergap saat dalam perjalanan menuju medan pertempuran. Meski
begitu, lima militant kelompok Abu Sayyaf berhasil di tembak mati. Terpukul
mundurnya tentara Filipina dalam operasi awal penyelamatan sandera dari tangan
Abu Sayyaf tidak melemahkan moral prajurit. Militer Filipina justru kembali
menggelar operasi penyergapan lanjutan
selama 10 jam pada hari berikutnya sepanjang minggu (10/4) dini hari,
dilokasi yang sama, menurut keterangan juru bicara Angkatan Bersenjata Filipina
(AFP). Berkat operasi lanjutan itu, dipastikan 13 militan kelompok Abu Sayyaf
tewas. Berikutnya pada tanggal 15 April 2016, pukul 18.31 kapal berbendera
Indonesia, yaitu kapal tunda TB Henry dan Kapal Tongkang Cristi di perairan
perbatasan Malaysia-Filipina kembali dibajak. Kapal tersebut dalam perjalanan
kembali dari Cebu, Filipina menuju Tarakan. Diculik oleh kelompok tersebut.
Tanggal 26
April militant Abu Sayyaf menepati ancaman yang meraka sebar untuk mulai
mengeksekusi tiga sandera asing dan satu tawanan asli Filipina. Korban pertama
adalah Jhon Ridsdel (68) asal Kanada. Tentara Filipina menemukan kepala pria
itu disalah satu pulau kosong kawasan Jolo. Penemuan itu terjadi lima jam
setelah tanggal pembayaran tebusan lewat. Hal ini hingga membuat militer
Filipina pada tanggal 29 April mengerahkan pesawat tempur membombardir
titik-titik diduga markas militant Abu Sayyaf di pedalaman Pulau Jolo, Provinsi
Sulu. Salah satu sandera asal Malaysia, Wong Teck Chi, menghubungi orangtuanya
lewat sambungan telefon tiga hari sebelumnya. Dia mengaku dipaksa lari
berpindah-pindah tempat nyaris setiap beberapa jam sekali oleh para
penculiknya. Militer Filipina mulai menggempur Pulau Jolo memalui udara sejak
dua pecan terakhir. Orang tua Teck Chi yang tinggal di Kota Sibu, Sarawak
Malaysia mengatakan bahwa mereka khwatir karena anaknya bercerita bahwa sikap
para penculik sekarang semakin teringas seletak serangan udara kian intensif.
Brigadir Jenderal Alan Arrojado yang selama delapan bulan terakhir memimpin
Brigade 501 Provinsi Sulu dicopot. Dia digantikan oleh Kolonel Jose Faustino
selepas satu sandera asal Kanada dipenggal oleh militant Abu Sayyaf di Pulau
Jolo. Karena Arrojado kabarnya bersitegang melawan atasannya, Mayor Jenderal
Gerrardo Barrientos. Mereka adu pendapat soal strategi menekan militant,
terkait operasi pembebasan para sandera.
Menteri
Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan telah membuat kesepakatan bersama
Menteri Pertahanan Malaysia dan Filipina untuk mengamankan wilayah maritim di
sekitar Sulawesi, Zamboanga, dan Sulu. Menurut Ryamizard, di wilayah perbatasan
tersebut harus disediakan 5-10 kapal yang bisa berpatroli.
"Jalur
itu ada patroli yang mengantar kita ke perbatasan, lalu nanti di perbatasan diterima
sama Malaysia atau Filipina," kata Ryamizard di kantornya, Rabu, 22 Juni
2016. Indonesia, Malaysia, dan Filipina sepakat akan membangun posko
pengendalian bersama di perairan perbatasan. Ryamizard mengatakan ketiga negara
akan menyusun prosedur tetap (protap) pengamanan di perbatasan. Protap itu
disusun sebagai landasan hukum terhadap tiga negara dalam upaya pengamanan
wilayah perbatasan. Setelah itu, akan dilakukan pelatihan terhadap para petugas
yang berjaga di perbatasan.
Ryamizard
berharap, penyanderaan anak buah kapal Indonesia beberapa waktu lalu tidak
terulang kembali setelah adanya kerja sama trilateral tersebut. Namun, jika ada
kejadian serupa, langkah paling utama yang dilakukan adalah Menteri Pertahanan
dari Indonesia, Malaysia, dan Filipina berkumpul untuk berkoordinasi merumuskan
langkah yang tepat. "Setelah itu, pelaksanaannya diserahkan ke tentara
masing-masing untuk secara teknis mengatasi itu," ujarnya.
Menurut
Ryamizard, dalam pengawasan di perairan perbatasan, ketiga negara sepakat akan
menyiapkan pesawat tanpa awak (drone) untuk mengawasi dari udara. Untuk posko
pengendalian, akan dibangun di titik-titik strategis yang akan diisi tentara
dari setiap negara.
Ryamizard
menilai saat ini belum akan mengerahkan KRI untuk memperkuat keamanan
perbatasan. Namun dimungkinkan KRI akan ikut dikerahkan sesuai kebutuhan. Ia
akan berfokus mengawasi dengan drone. Dengan demikian, jika ada kapal asing
yang mendekat, segera diawasi.
Langkah ini
dianggap sebagai upaya konkret untuk mengantisipasi tindakan radikal yang
berpotensi terjadi. Ryamizard pun berpesan khusus kepada pemerintah Filipina
agar mampu mengawasi kelompok radikal di negara tersebut. "Filipina harus
laksanakan hubungan yang baik, jangan sampai terjadi kontak senjata,"
tuturnya.
Pertemuan
tiga negara, yaitu Indonesia, Malaysia, dan Filipina, digelar di Manila,
Filipina. Pertemuan itu menghadirkan Menteri Pertahanan Indonesia Ryamizard
Ryacudu, Menteri Pertahanan Malaysia Dato Hishamuddin, dan Menteri Pertahanan
Filipina Gazmin T. Voltaire pada Senin, 20 Juni 2016. Pertemuan tersebut
sebagai tindak lanjut pertemuan pertama tiga menteri itu di sela-sela kegiatan
ASEAN Defense Ministers Meeting, Mei lalu.
2.2.2 upaya pembebasan melalui
Negosiasi
Upaya pembebasan 10 orang WNI yang
menjadi sandera kelompok militan Abu Sayyaf terus dilakukan,
berbagai cara dilakukan termasuk dengan cara Negosiasi. Pemerintah Indonesia
akhirnya mengirim beberapa mantan teroris sebagai negosiator, salah satunya
Umar Patek. Staf BNPT, Hadi Purwanto mengatakan
Umar Patek yang memiliki kedekatan dengan Abu Sayyaf dinilai bisa
membantu melakukan Negosiasi. Sebelumnya pemerintah sempat tak mengambil
langkah karena upaya negosiasi kepada pihak Pemerintah Filipina untuk
mengerahkan TNI ditolak. Pihak Pemerintah Filipina berjanji akan mencari segala
cara untuk bisa membebaskan 10 WNI yang ditawan Abu Sayyaf. Menteri pertahanan,
Ryamizard Ryacudu pun membenarkan Umar Patek sebagai negosiator. Sebagai
kompensasinya Umar Patek akan diberikan remisi.
Umar Patek adalah narapidana
terorisme kasus bom Bali 1 tahun 2002 Umar menjalani pidana 20 tahun penjara,lima
tahun sejak penangkapan oleh aparat keamanan Pakistan di Kota Abbottabad,
Hisyam bin Ali Zein atau yang dikenal umar patek telah banyak berubah Umar
Patek ditanggkap 25 Januari 2011 atau e,pat bulan sebelum pimpinan Qaeda, Osama
bin Laden, terbunuh dalam operasi penyerbuan pasukan elite Amerika Serikat,
Navy SEALs,di kota yang sama. Setelah peristiwa bom Bali 1, Umar langsung pergi
ke Filipina Selatan bergabung dengan Kelompok Abu Sayyaf. Dia di Filipina
hingga 2009 sebelum akhirnya kembali ke Indonesia pada awal tahun 2010 dan
kemudian ditanggkap di Pakistan setahun kemudia. Umar patek menawarkan diri
membantu proses negosiasi kepada pemerintah, tawaran itu bisa diterima dan bisa
ditolak. Umar Patek juga mengatakan bahwa dia tidak meminta imbalan apapun
termasuk meminta imbalan pengurangan masa tahanan separuh atau 10 tahun. Umar
Patek yakin biasa membantu membebaskan 10 WNI itu tanpa tebusan dan syarat apa
pun. Bantuan itu diberikan tanpa pamrih, tapi berdasarkan pada rasa kemanusiaan
dan cinta tanah air. Umar mengaku mengenal baik pimpinan Abu Sayyaf, yakni Al
Habsy Misaya dan Jim Dragon. Al Habsy cenderung lunak dan mudah diajak komunikasi.
“aku lebih dulu masuk, kemudian Al Habsy” ujarnya. Umar mrngaku sebelumnya
telah berhasil membantu membebaskan anggota Komite Internasional Palang Merah
(ICRC), Mary Jean. Alasannya islam melarang membunuh atau memusuhi perempuan di
medang perang. Jane dibebaskan tanpa syarat, tak ada tebusan. Mengenai teknis
pembebasan, dilakukan di dalam lembaga permasyarakatan Porong, Sidoarjo tempat
Umar Patekl di penjara. Dia meminta fasilitas menggunakan telefon genggam untuk
berkomunikasi dengan Al Habsy dan meminta
nomor telefonnya. Dia mengatakan semua proses negosiasi cukup dilakukan di
dalam LP Porong. Jadi salah persepsi jika negosiasi harus dilakukan disuatu tempat, apalagi bertemu dengan Al
Habsy di Filipina. Dia ada beberapa deal yang akan disampaikan agar sandera
dibebaskan. Umar akan membujuk Al Habsy agar 10 WNI dibebaskan dengan berbagai
cara pola pendekatan, seperti menjelaskan
sejumlah WNI merupakan umat muslim yang harus dibebaskan. Sedangkan WNI
nonmuslim merupakan sahabatnya yang harus dibebaskan, mereka tidak ada urusan
dengan pertempuran dengan tentara Filipina.
Umar pernah
bergabung dengan kelompok tersebut dari tahun 2003 hingga 2009, puncaknya ia
didapuk sebagai salah satu anggota Majelis Syuba Abu Sayyaf di bawah pimpinan
Kadaffy Janjalani pada 2005-2006. Majelis
Syuba diemban tokoh-tokoh senior dan berpengaruh Abu Sayyaf. Jabatan itu
berperan penting dalam menentukan kebijakan kelompok tersebut. Ketika masih
bergabung dengan Abu Sayyaf, Umar menggungkapkan, Jim dianggap sebagai tokoh
senior yang setara dengan dirinya, sedangkan Al Habsy masih anggota yunior. Al
Habsy lebih banyak bertugas melakukan dokumentasi terhadap aksi pembunuhan
sandera, misalnya terhadap tujuh pekerja asal Filipina pada 2007. Umar
mengatakan bahwa Abu Sayyaf menganggap Filipina sebagai musuh, Umar berkata
Insya Allah, keberhasilan negosiasi itu sampai 80 persen, kemungkinan mereka
tidak mengetahui bahwa 10 sandera itu besal dari Indonesia sehingga dia bisa
memberikan pengertian kepada mereka (Abu Sayyaf).
Umar mengingatkan
pemerintar agar tidak menganggap remeh batas waktu yang diberikan kelompok Abu
sayyaf. Kini Abu Sayyaf telah memberikan batas waktu kedua, yaitu 8 April,
untuk memberikan uang tebusan 50 juta peso (Rp.14 miliar). “mereka melihat
keseriusan tahap negosiasi dalam memberikan batas waktu. Apabila hingga batas
waktu kedua belum ada langkah nyata untuk penebusan, jelang batas waktu ketiga
mereka akan membunuh sandera” ujar Umar Patek. Pembunuhan itu biasanya akan
diunggah ke internet. Dalam artikel “Radical Muslim Terrorism in Philippines”
karya Rommel C Banlaoi yang terdapat dala A Handbook of Terrorism and
Insurgency in Southeast Asia (2009) terungkap bahwa upaya penyanderaan di
wilayah laut dengan mematok tebusan jamak terjadi setelah Abu Sayyaf dipimpin
Khadaffy Janjalani sejak 1998. Hal itu disebabkan kurangnya ideology dan
kemampuan kepemimpinan Khadaffy. Ia menggantikan kakaknyayang tewas dalam
serangan militer dan polisi Filipina, yaitu Abdirajak Abubakar Janjalani pada
Desember 1998. Menurut Umar, di masa kepemimpinan Abdurajak, Abu Sayyaf
mendapat pasokan dana dari Al Qaeda untuk pemenuhan logistik perang. Namun
setelah ketiadaan Abdurajak, bantuan itu menghilang. Pembajakan dan
penyanderaan dipertahankan oleh Amir (pimpinan) Abu Sayyaf selanjutnya, seperti
Albader (2006-2010) dan Rudullan Sahiron (2010-kini). Abu Sayyaf terdiri
dari beberapa Majmu’ah (kelompok) yang
memiliki kebijakan tersendiri. Meskipun Radullah menjadi pimpinan secara umum,
setiap kelompok memiliki pemimpin, salah satunya Al Habsy dan Jim. Penyanderaan
itu murni untuk memenuhi kebutuhan
logistik setiap kelompok, seperti membeli senjata dan amunisi. Mereka memiliki
selera tinggi untuk senjata, sebab hanya ingin senjata buatan Amerika Serikat
dan menolak(senjata) buatan Filipina”, pungkas Umar.
Ia (Umar) menyatakan, upaya pembebasan
sandera selalu menyebabkan dilemma bagi keluarga korban dan pemerintah.
Keluarga korban ingin tebusan diberikan dengan alas an keselamatan, sedangkan
pemerintah sebuah Negara pasti ingin menjaga harga diri bangsa sehingga
menyiapkan serangan militer. Serangan militer lanjutnya, justru akan menjadi
boomerang. Umar mengungkapkan Abu Sayyaf akan membawa serta semua sandera
ketika bergerilya menghindari serangan militer. Hal itu lanjutnya, menyebabkan
sandera akan berisiko menjadi korban serangan militer. Umar mencontohkan, tiga
sandera anggota ICRC, yaitu Lacaba, Andreas Notter dan Eugenio Vagni, dibawa
Albader dan kelompoknya bergerilya sebelum dibebaskan setelah Abu Sayyaf
menerima tebusan atas Notter dan Vagni. Namun, kalau pemerintah tidak tegas
bernegosiasi, Abu Sayyaf juga bisa membunuh sanderanya. Jangan sampai ada derai
air mata dari keluarga korban, keluarga tentara kita, dan Negara ini. Ujar
Umar.
2.2.3 Penyerahan/Pembebasan Sandera
Abu Sayyaf
Sebanyak sepuluh awak kapal warga
Negara Indonesia yang disandera kelompok militant Abu Sayyaf akhirnya
dibebaskan. Deputi Chairman Media Group Rerie L.Moerdijat mengatakan negosiasi
pembebasan dilakukan melalui dialog antara yayasan sukma dengan pihak tokoh
masyarakat, LSM, lembaga kemanusiaan daerah Sulu yang memiliki akses langsung
ke pihak Abu Sayyaf dibawah koordinasi langsung pemirintah Republik Indonesia.
Pembebasan dan pelepasan sandera
dilakukan sekitar pukul 12.15 di Pantai, Sulu, Mindano Selatan, Filipina. Upaya
pembebasan dilakukan sejak tanggal 23 April 2016. Pendekatan pendidikan
dilakukan karena sudah ada kerjasama pendidikan antara Yayasan Sukma dan
Pemerintah otonomi Moro Selatan. Sandera diserahkan ke tim Indonesia di Pantai
Parang lalu dibawa ke rumah Gubernur Zulu selama satu setengah jam, untuk
proses verifikasi. Setelah itu, diterbangkan dari Zulu menuju Zambonga
menggunakan dua Helikopter jenis UH 1 H. Sandera tiba di Zambonga sekitar pukul
16.30 waktu setempat. Mereka kembali menjalani verifikasi dan pemeriksaan
kesehatan dari tim Filipina. Para ABK ini kemudian diperiksa untuk mengetahui
apa saja yang terjadi dan dialami selama masa penyanderaan. Selain itu, mereka
diminta untuk mengenali para kelompok Abu Sayyaf lainnya. Pemerintah Filipina
kemudian menyerahkan secara resmi para sandera kepada Kedutaan Besar Indonesia
di Malaysia dan perwakilan dari partai Nasional Demokrat Victor Laiskodat. Selanjutnya para sandera
diterbangkan ke Indonesia dan diserahkan pada pemerintah melalui Kementerian
Luar Negeri di Bandara Halim.
Semula kelompok Abu Sayyaf hendak
menculik seorang pengusaha di pulau Tawi-tawi, Filipina Selatan, tapi gagal
karena pengawasan dan pengawalan yang ketat. Dalam perjalanan pulang kea rah Utara,
kelompok Abu Sayyaf pimpinan Tawing Umair berpapasan dengan dengn kapalBrahma
12. Para sandera dititipkan di tempat aman milik kelompok Abu Sayyaf pimpinan
Al Habsy.
Presiden
Joko Widido mengatakan meski 10 sandera telah bebas, pemerintah Indonesia masih
berupaya membebaskan empat ABK WNI yang lainnya. Pemerintahpun berencana
mengadakan pertemuan dangan Malaysia dan Hilipina pada 5 Mei 2016 guna membahas
keamanan di perairan perbatasan dan wilayah sekitarnya.
BAB 3
KESIMPULAN
Pembajakan dan penyanderaan dua buah kapal berbendera Indonesia,oleh
kelompok militan Abu Sayyaf. Dua kapal Tugboat Brahma 12 dan kapal Tongkang
Anand 12 yang membawa 7.000 ton batu bara serta 10 orang awak kapal
berkewarganegaraan Indonesia hilang kontak pada hari senin, 28 Maret 2016
ketika berada diwilayah Filipina.
Dua kapal pembawa batu bara berangkat dari sungai Putting,
Kalimantan Selatan pada tanggal 15 Maret 2016. Ketika melintasi Basilan Island.
Berbagai upaya dilakukan untuk membebaskan sandera dari
tangan kelompok militan Abu Sayyaf mulai dari melalui serangan militer oleh
tentara Filipina maupun dengan melakukan negosiasi, upaya ini dilakukan dalam
bentuk wujud memberi perlindungan terhadap warga Negara yang sedang dalam
bahaya, beruntung 10 WNI yang disandera dapat dibebaskan dengan selamat dan
dikembalikan kepada pihak keluarga, dari ancaman pembunuhan dan lain sebagainya
Daftar Pustaka :
1. KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
2. BUDIYANTO'S BLOG
3. KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA
4.INTERNET:
-http://tempo.news.com
2

Tidak ada komentar:
Posting Komentar